merupakan kriteria perkembangan iman dan
kasih seorang kristiani. (WAICC Newsletter,
edisi Oktober 2002. Dikutip seijin WAICC
dan Penulisnya).
RENUNGAN: PEMBINAAN BERKELANJUTAN
(Matius 13:1-23)
Oleh: A.S.Hadiwiyata
(Anggota Lembaga Biblika Indonesia)
Bagi siapa saja. Itulah kesan yang dapat
muncul ketika membaca perumpamaan tentang
penabur, Matius 13:1-8. Memang cara
menyebar
benih demikian tidak lazim dilakukan
petani
di Indonesia. Namun apa yang tertulis
cukup
menggambarkan sikap dan tindakan penabur
yang tidak memilih-milih tempat dan
tanah.
Bagaimana pun keadaan tanah itu – berbatuan,
bersemak duri, atau subur – semua mendapat
kesempatan yang sama, menerima benih
yang
sama, mengalami “nasib” oleh alam yang
sama.
Namun pada akhirnya buah hasilnya berbeda-beda,
berdasar kualitas dan mutu tanah penerima.
Meski perumpamaan Yesus pada umumnya berbicara
mengenai hal-ihwal kerajaan Allah,
namun
cukup menarik untuk memperhatikan,
bagaimana
jemaat perdana menafsirkan perumpaan
ini.
Dikatakan dalam penjelasan – yang oleh
penginjil
seolah-olah diberikan Yesus kepada
para murid-Nya
– bahwa benih itu adalah firman Allah,
sabda
pewartaan yang disebarluaskan oleh
Yesus
sendiri dan oleh para pewarta yang
lain.
Dalam evaluasi lebih lanjut ternyata
bahwa
firman yang disebarluaskan lewat pengajaran,
pewartaan, kesaksian dan kegiatan lain
itu
menghasilkan jumlah buah yang berbeda-beda.
Berbicara mengenai firman Tuhan dengan kekuatan
dan dayanya, orang teringat akan ucapan
nabi
Yesaya yang pernah mengatakan, bahwa
firman
Tuhan itu laksana air hujan yang dapat
menyuburkan
tanah, yang bagaimana pun juga tidak
akan
kembali ke atas, kepada Tuhan, dengan
sia-sia
(lihat Yesaya 55:10-11). Kiasan yang
sangat
bagus ini mau menekankan daya kekuatan
firman
Allah, yang dapat mengubah,
| |
membaharui, menghasilkan hal-hal positif
bagi orang yang menerimanya.
Namun rupanya hal itu tidak berjalan secara
otomatis. Berhasil tidaknya, berbuah
tidaknya
firman yang disebar luaskan secara
murah,
bebas, tertuju kepada siapa saja, ternyata
menemukan manusia yang berbeda-beda,
baik
dalam mutu kehidupannya maupun dalam
cara
menerima dan mengolah firman yang ditawarkan
kepada mereka.
Kenyataan seperti inilah yang dulu dilihat
oleh Penginjil dan juga jemaatnya,
sewaktu
merefleksi kembali karya pewartaan
mereka
sekian puluh tahun sepenginggal Yesus.
Sesudah
sekian puluh tahun hadir dan bertumbuh
di
bumi Palestina dan wilayah-wilayah
sekitarnya,
dapat dilihat peta perkembangan Kekristenan
dengan berbagai macam situasi dan kondisinya.
Di beberapa wilayah jumlah umat cukup
menggembirakan.
Namun sayang tidak bertahan lama, tidak
mengakar
dengan baik. Di wilayah lain kelompok-kelompok
umat mengalami pengejaran, penganiayaan
dari
berbagai pihak – enatah dari pemerintah
asing,
entah dari kelompok bangsa sendiri
yang fanatik,
demikian hebatnya sehingga tidak sedikit
penerima firman yang memilih mundur
teratur.
Namun terdapat juga daerah di mana
perkembangan
kekristenan sungguh mengagumkan. Tidak
hanya
jumlah yang bertambah pesat, melainkan
juga
mutu umat beriman sendiri patut dibanggakan.
Mereka ini dengan tangguh dan tekun
menghasilkan
buah-buah positif yang dinikmati baik
oleh
komunitas beriman sendiri, maupun oleh
masyarakat
sekitarnya. Kiranya situasi semacam
inilah
yang mau digambarkan dalam Kisah Para
Rasul
(bab 2, 4, 5).
Situasi yang sama juga bisa ditemukan di
bumi Indonesia sendiri. Orang dapat
mengamati
mana daerah-daerah yang cukup tanggap
dan
antusias menerima Kekristenan. Kemudian
dari
mereka bermunculan buah-buah yang menggembirakan.
Namun juga dapat ditemukan, mana daerah
yang
“gersang”, bahkan sungguh “menderita”
karena
siatuasi dan kondisi setempat yang
kurang
menguntungkan.
Memperhatikan gambaran-gambaran di atas,
muncul pertanyaan, bagaimana cara dan
upaya
yang harus ditempuh agar “tanah-tanah”
yang
gersang dengan segala keadaannya yang
|