KARISMATIK KATOLIK INDONESIA HOLY SPIRIT
Room 0302, 3rd Floor, Holy Spirit Church, 248 Upper Thomson Road, Singapore 574371

APRIL MEI JUNI JULI AGUSTUS SEPTEMBER OKTOBER NOVEMBER DESEMBER JANUARI

EDISI 11 Februari 2003

kesepian, kekosongan dan ketakutan. Karena itu bila kita mengamati kehidupan ini kiranya kita dapat menemukan penyebabnya yang dapat dirangkum dalam dua hal pokok yang membuat manusia seringkali merasa takut, cemas, bahkan stress dalam kehidupannya, yaitu kesibukan dan kesepian.

Kesibukan hidup sehari-hari mengakibatkan relasi kita dengan Tuhan menjadi terhalang, bahkan relasi kita dengan keluarga pun juga tidak lancar. Karena komunikasi tidak lancar ini menyebabkan kita mudah sekali salah paham, salah duga, hubungan menjadi dingin. Keluarga tidak lagi menjadi tempat yang hangat di mana kita dapat bertemu dan membagi pengalaman hidup. Keluarga tidak menjadi tempat di mana orang mendapatkan kesegaran dan kekuatan baru. Semuanya ini disebabkan karena relasi antar anggota keluarga tidak berjalan dengan baik. Keadaan semacam ini tidak jarang menimbulkan rasa cemas, takut, kuatir, penuh kecurigaan, rasa tersinggung, marah, dsb. Kita seringkali mencari bentuk-bentuk pelarian untuk mengatasi rasa takut dan cemas ini dengan merokok, minuman keras, hiburan sesat, sex, dan tidak jarang kita makin tidak berdoa. Hubungan dengan Tuhan mengalami kemacetan.

Tetapi dari lain pihak manusia juga tidak dapat tidak sibuk dalam kehidupan. Karena kesibukan telah berubah arah tujuannya. Tadi kesibukan itu perlu untuk melaksanakan tugas-tugas yang menjadi tanggung jawab kita masing-masing, tapi lama kelamaan kita kewalahan menghadapi begitu banyak tugas dan permasalahan yang kita hadapi, sehingga kita menjadi tegang dan jengkel. Sebenarnya yang kita takuti bukan karena kita tidak dapat melaksanakan tugas dengan baik, tetapi kita takut tersaing dengan orang lain. Kita dikejar-kejar prestasi dan kesuksesan hidup. Jadi tanpa dirasakan adanya peralihan tujuan dari kesibukan, yang tadinya benar-benar kita takut tidak dapat menyelesaikan tugas, bergeser kepada sibuk memikirkan kekuatiran kita untuk kalah dalam persaingan, harga diri, takut kalah dan direndahkan, takut dianggap tidak berfungsi lagi. Kesibukan kita bukan lagi kepada tugas yang harus dilaksanakan, tetapi kita sibuk dengan kekuatiran-kekuatiran dan ketakutan. Hal ini yang akan menimbulkan ketegangan dalam hidup, karena kita sibuk dengan ketakutan untuk tidak dapat berguna dan berprestasi.

Kecemasan ini menghalangi kasih Tuhan kepada kita. Relasi kita dengan Tuhan makin dangkal, hidup keagamaan menjadi fomalitas belaka. Hal ini juga mempengaruhi relasi kita dengan keluarga. Hubungan suami-isteri menjadi dingin, mudah tersinggung, kurang hangat. Iman dan kasih tidak berkembang sebagaimana mestinya.

Kesepian. Dalam kehidupan sehari-hari tidak jarang kita mengalamai ketidakpuasan yang mendalam, sebab banyak keinginan kita tak terpenuhi seluruhnya. Hal ini menyebabkan kita mudah sekali kehilangan arti dalam hidup, karena rutinitas hidup yang membosankan. Kita merasa tidak dimengerti dan dicintai lagi. Kita kehilangan kasih baik di keluarga dan di masyarakat luas. Manusia mudah sekali lari dari kekosongan hidup ini dengan berbagai cara dan bentuk, misalnya mulai dari timbulnya gejala-gejala psiko-somatik (berkenaan dengan kejiwaan), hypochondria (kesedihan yang tak beralasan), seperti keluhan-keluhan berupa sakit kepala, sakit pinggang, dsb, sampai pada bentuk-bentuk pelarian yang lebih besar resikonya, seperti minum obat penenang, minuman keras, hiburan sesat, sex, narkoba, dsb.

Situasi ini membuat hubungan dengan Tuhan terhambat dan komunikasi dalam keluarga mengalami kemacetan. Timbul cekcok yang tak berguna. Hal ini kalau dibiarkan terus begitu saja, akan mengganggu perkembangan hidup rohani dan akhirnya iman dan kasih akan mati. Hal ini tampak dalam hal : a) kehilangan arah hidup; b) budak kerutinan hidup di keluarga dan masyarakat; c) tidak adanya komunikasi batin dengan keluarga; d) hubungan suami-interi kurang baik; e) hubungan dengan Tuhan dan sesama menjadi formalitas belaka; f) kehidupan agama hanya formalitas dan ritual.

Akhirnya dapat disimpulkan bahwa setiap orang kristiani bertugas dan bertanggung jawab menumbuh-kembangkan iman dalam wadah kristiani yang telah dipilihnya. Perkembangan iman sangat perlu untuk menumbuh-kembangkan relasi suami-isteri yang merupakan hakekat dari Sakramen Perkawinan yang telah mereka laksanakan (Matius 19: 5-7). Sakramen Perkawinan dapat disebut Sakramen Relasi, karena inti Sakramen Perkawinan adalah Relasi. Karena itu Relasi dapat dipakai sebagai kriteria terwujud dan tidaknya Perkawinan Katolik. Dan pula Relasi dengan Tuhan juga


Back to Mainpage