kesepian, kekosongan dan ketakutan. Karena
itu bila kita mengamati kehidupan ini
kiranya
kita dapat menemukan penyebabnya yang
dapat
dirangkum dalam dua hal pokok yang
membuat
manusia seringkali merasa takut, cemas,
bahkan
stress dalam kehidupannya, yaitu kesibukan dan kesepian.
Kesibukan hidup sehari-hari mengakibatkan relasi kita
dengan Tuhan menjadi terhalang, bahkan
relasi
kita dengan keluarga pun juga tidak
lancar.
Karena komunikasi tidak lancar ini
menyebabkan
kita mudah sekali salah paham, salah
duga,
hubungan menjadi dingin. Keluarga tidak
lagi
menjadi tempat yang hangat di mana
kita dapat
bertemu dan membagi pengalaman hidup.
Keluarga
tidak menjadi tempat di mana orang
mendapatkan
kesegaran dan kekuatan baru. Semuanya
ini
disebabkan karena relasi antar anggota
keluarga
tidak berjalan dengan baik. Keadaan
semacam
ini tidak jarang menimbulkan rasa cemas,
takut, kuatir, penuh kecurigaan, rasa
tersinggung,
marah, dsb. Kita seringkali mencari
bentuk-bentuk
pelarian untuk mengatasi rasa takut
dan cemas
ini dengan merokok, minuman keras,
hiburan
sesat, sex, dan tidak jarang kita makin
tidak
berdoa. Hubungan dengan Tuhan mengalami
kemacetan.
Tetapi dari lain pihak manusia juga tidak
dapat tidak sibuk dalam kehidupan.
Karena
kesibukan telah berubah arah tujuannya.
Tadi
kesibukan itu perlu untuk melaksanakan
tugas-tugas
yang menjadi tanggung jawab kita masing-masing,
tapi lama kelamaan kita kewalahan menghadapi
begitu banyak tugas dan permasalahan
yang
kita hadapi, sehingga kita menjadi
tegang
dan jengkel. Sebenarnya yang kita takuti
bukan karena kita tidak dapat melaksanakan
tugas dengan baik, tetapi kita takut
tersaing
dengan orang lain. Kita dikejar-kejar
prestasi
dan kesuksesan hidup. Jadi tanpa dirasakan
adanya peralihan tujuan dari kesibukan,
yang
tadinya benar-benar kita takut tidak
dapat
menyelesaikan tugas, bergeser kepada
sibuk
memikirkan kekuatiran kita untuk kalah
dalam
persaingan, harga diri, takut kalah
dan direndahkan,
takut dianggap tidak berfungsi lagi.
Kesibukan
kita bukan lagi kepada tugas yang harus
dilaksanakan,
tetapi kita sibuk dengan kekuatiran-kekuatiran
dan ketakutan. Hal ini yang akan menimbulkan
ketegangan dalam hidup, karena kita
sibuk
dengan ketakutan untuk tidak dapat
berguna
dan berprestasi.
| |
Kecemasan ini menghalangi kasih Tuhan kepada
kita. Relasi kita dengan Tuhan makin
dangkal,
hidup keagamaan menjadi fomalitas belaka. Hal ini juga mempengaruhi relasi kita dengan
keluarga. Hubungan suami-isteri menjadi
dingin,
mudah tersinggung, kurang hangat. Iman
dan
kasih tidak berkembang sebagaimana
mestinya.
Kesepian. Dalam kehidupan sehari-hari tidak jarang
kita mengalamai ketidakpuasan yang
mendalam,
sebab banyak keinginan kita tak terpenuhi
seluruhnya. Hal ini menyebabkan kita
mudah
sekali kehilangan arti dalam hidup,
karena
rutinitas hidup yang membosankan. Kita
merasa
tidak dimengerti dan dicintai lagi.
Kita
kehilangan kasih baik di keluarga dan
di
masyarakat luas. Manusia mudah sekali
lari
dari kekosongan hidup ini dengan berbagai
cara dan bentuk, misalnya mulai dari
timbulnya
gejala-gejala psiko-somatik (berkenaan
dengan
kejiwaan), hypochondria (kesedihan
yang tak
beralasan), seperti keluhan-keluhan
berupa
sakit kepala, sakit pinggang, dsb,
sampai
pada bentuk-bentuk pelarian yang lebih
besar
resikonya, seperti minum obat penenang,
minuman
keras, hiburan sesat, sex, narkoba,
dsb.
Situasi ini membuat hubungan dengan Tuhan
terhambat dan komunikasi dalam keluarga
mengalami
kemacetan. Timbul cekcok yang tak berguna.
Hal ini kalau dibiarkan terus begitu
saja,
akan mengganggu perkembangan hidup
rohani
dan akhirnya iman dan kasih akan mati.
Hal
ini tampak dalam hal : a) kehilangan
arah
hidup; b) budak kerutinan hidup di
keluarga
dan masyarakat; c) tidak adanya komunikasi
batin dengan keluarga; d) hubungan
suami-interi
kurang baik; e) hubungan dengan Tuhan
dan
sesama menjadi formalitas belaka; f)
kehidupan
agama hanya formalitas dan ritual.
Akhirnya dapat disimpulkan bahwa setiap orang
kristiani bertugas dan bertanggung jawab
menumbuh-kembangkan iman dalam wadah kristiani
yang telah dipilihnya. Perkembangan iman
sangat perlu untuk menumbuh-kembangkan relasi
suami-isteri yang merupakan hakekat dari
Sakramen Perkawinan yang telah mereka laksanakan
(Matius 19: 5-7). Sakramen Perkawinan dapat
disebut Sakramen Relasi, karena inti Sakramen
Perkawinan adalah Relasi. Karena itu Relasi
dapat dipakai sebagai kriteria terwujud dan
tidaknya Perkawinan Katolik. Dan pula Relasi
dengan Tuhan juga
|