Bulan Oktober tahun lalu, saya pulang ke
Jakarta untuk mengunjungi kakak yang
sedang
sakit berat. Kesibukan sambil menunggu
kakak
yang sedang sakit, hampir tidak ada
sama
sekali, dan waktu hampir seluruhnya
digunakan
untuk mendampingi-nya pada saat saat
terakhir.
Kebetulan teman teman lama yang mengetahui
kedatangan saya, ada datang berkunjung
ngobrol
di rumah sakit atau ngobrol lewat telepon.
Sayapun juga melakukan pengamatan tentang
prilaku orang yang bertemu, baik waktu
ngobrol
maupun waktu menonton televisi. Setelah
hampir
5 tahun tidak pulang, ada "sesuatu"
yang tidak luput dalam pengamatan saya.
Saya
memperoleh kesan bahwa orang di tanah
air
sangat relijius . Baik dalam bercerita,
ngobrol
maupun berguyon maupun dalam berpidato,
selalu
terdengar cetusan, sapaan maupun komentar
yang mengacu kepada agama. Lontaran
maupun
ungkapan seperti .... puji syukur ataupun puji Tuhan, sangat
sering terdengar dan tentu saja, ungkapan
atau penggunaan jargon agama ini bukanlah
di-monopolikan oleh umat Kristen saja.
Acara
ke-agama-an dapat dilihat dimana-mana,
baik
lewat media cetak, televisi, ceramah,
nyanyian
malah sampai pertemuan di hotel yang
berbintang.
Pada akhirnya, kakak saya meninggal dunia
dan dikremasikan. Sewaktu jenasah almarhum
dipindahkan dari rumah sakit ke rumah
duka,
saya ikut didalam mobil jenasah dengan
sirene
yang meraung-raung. Ternyata raungan
sirene
ini tidak ada pengaruhnya sama sekali.
Kendaraan
lain tetap saja berjalan tanpa mengurangi
kecepatan ataupun memberi jalan, malahan
ada penyeberang jalan yang mencoba
menghentikan
lajunya mobil jenasah, karena mungkin
sudah
terlalu lama mencari kesempatan untuk
menyeberang.
Pengalaman berikutnya yang agak menarik adalah
waktu bertemu kawan lama yang telah
menjadi
pengusaha yang berhasil. Dia bercerita tentang kehidupan rohani-nya yang sibuk dan
penuh dengan kegiatan dimana mana.
Dia juga
mengeluh bagaimana kesalnya sewaktu
harus
memberi suap kepada orang kesana kemari,
| |
untuk melicinkan usahanya. Melihat aset yang
dimilikinya, saya berpendapat bahwa
dia sudah
sangat berkecukupan, dan bertanya kepadanya,
kapan akan berhenti memberi suap. Jawabanya
cukup mengejutkan karena, dia tak akan
berhenti
dan akan tetap mengikuti "arus
kebiasaan".
Tentu saja saya tidak bisa menyalahkan atau
membenarkan salah satu kelompok manapun
dalam
cerita ataupun observasi diatas, tetapi
yang
jelas, banyak terlihat inkonsistensi
antara
ucapan ataupun prilaku dari orang orang
dengan
sopan santun, etika bermasyarakat.
Kegiatan
agama yang sangat intens, ungkapan,
tutur
sapa yang agamis tidak ter-refleksi
dalam
kehidupan sehari hari yang keras, malahan
kejam. Saya mencoba untuk mengerti
dan lebih
mendalaminya, dan saya melihat suatu
kondisi
yang sangat kompleks, menyangkut kultur,
sosio ekonomis, psikologis, keamanan
dan
sekuriti pekerjaan dsb, sehingga usaha
untuk
memfokuskan sebab musababnya sangat
mustahil
dalam tulisan yang sederhana ini.
Saya mengakui bahwa saya senang melakukan
refleksi, apalagi setelah melihat sesuatu
yang menyentuh perasaan hati. Saya melihat
penting nya dan perlu nya refleksi itu dilakukan secara kontinu.
Penting menurut saya, karena dari pengalaman
saya, dengan refleksi saya menyediakan
waktu
khusus untuk merenung sehingga dapat
lebih
dekat kepada Nya. Saya masih ingat
pengalaman
waktu masih kuliah di universitas dahulu,
ada seorang teman yang menganggap dirinya
gagah dan ganteng. Perasaan ini sering
diucapkan
atau diungkapkan kepada teman teman
lainnya.
Karena hal ini dilakukan berulang ulang,
akhirnya ada juga yang berkata, ... bung, ngaca dulu dong! Disinilah, saya melihat faktor
perlu nya untuk melakukan refleksi,
yaitu
untuk berhenti sebentar, introspeksi
dan
kalau perlu melakukan koreksi.
Salah satu sumber favorit saya untuk melakukan
refleksi, adalah membaca buku karangan
Anthony
de Mello, seorang imam Jesuit di India.
Dalam
bukunya, almarhum selalu mengingatkan
bahwa
manusia itu senang membuat program
atau "attachment"
didalam dirinya. Program itu adalah
untuk
"membesarkan" dirinya sendiri
yang
dilakukan dengan bermacam macam cara.
Kita
sering melihat banyak orang yang senang
menuliskan
|