KARISMATIK KATOLIK INDONESIA  HOLY SPIRIT
(KKIHS)
Room 0302, 3rd Floor, Holy Spirit Church
248 Upper Thomson Road, Singapore 574371


APRIL MEI JUNI JULI AGUSTUS SEPTEMBER OKTOBER NOVEMBER DESEMBER

EDISI 10 Januari 2003

TAHUN 2003
Oleh: Ben Sugija

Bulan Oktober tahun lalu, saya pulang ke Jakarta untuk mengunjungi kakak yang sedang sakit berat. Kesibukan sambil menunggu kakak yang sedang sakit, hampir tidak ada sama sekali, dan waktu hampir seluruhnya digunakan untuk mendampingi-nya pada saat saat terakhir. Kebetulan teman teman lama yang mengetahui kedatangan saya, ada datang berkunjung ngobrol di rumah sakit atau ngobrol lewat telepon. Sayapun juga melakukan pengamatan tentang prilaku orang yang bertemu, baik waktu ngobrol maupun waktu menonton televisi. Setelah hampir 5 tahun tidak pulang, ada "sesuatu" yang tidak luput dalam pengamatan saya. Saya memperoleh kesan bahwa orang di tanah air sangat relijius . Baik dalam bercerita, ngobrol maupun berguyon maupun dalam berpidato, selalu terdengar cetusan, sapaan maupun komentar yang mengacu kepada agama. Lontaran maupun ungkapan seperti  .... puji syukur ataupun puji Tuhan, sangat sering terdengar dan tentu saja, ungkapan atau penggunaan jargon agama ini bukanlah di-monopolikan oleh umat Kristen saja. Acara ke-agama-an dapat dilihat dimana-mana, baik lewat media cetak, televisi, ceramah, nyanyian malah sampai pertemuan di hotel yang berbintang.

Pada akhirnya, kakak saya meninggal dunia dan dikremasikan. Sewaktu jenasah almarhum dipindahkan dari rumah sakit ke rumah duka, saya ikut didalam mobil jenasah dengan sirene yang meraung-raung. Ternyata raungan sirene ini tidak ada pengaruhnya sama sekali. Kendaraan lain tetap saja berjalan tanpa mengurangi kecepatan ataupun memberi jalan, malahan ada penyeberang jalan yang mencoba menghentikan lajunya mobil jenasah, karena mungkin sudah terlalu lama mencari kesempatan untuk menyeberang.

Pengalaman berikutnya yang agak menarik adalah waktu bertemu kawan lama yang telah menjadi pengusaha yang berhasil. Dia bercerita  tentang kehidupan rohani-nya yang sibuk dan penuh dengan kegiatan dimana mana. Dia juga mengeluh bagaimana kesalnya sewaktu harus memberi suap kepada orang kesana kemari,

untuk melicinkan usahanya. Melihat aset yang dimilikinya, saya berpendapat bahwa dia sudah sangat berkecukupan, dan bertanya kepadanya, kapan akan berhenti memberi suap. Jawabanya cukup mengejutkan karena, dia tak akan berhenti dan akan tetap mengikuti "arus kebiasaan".

Tentu saja saya tidak bisa menyalahkan atau membenarkan salah satu kelompok manapun dalam cerita ataupun observasi diatas, tetapi yang jelas, banyak terlihat inkonsistensi antara ucapan ataupun prilaku dari orang orang dengan sopan santun, etika bermasyarakat. Kegiatan agama yang sangat intens, ungkapan, tutur sapa yang agamis tidak ter-refleksi dalam kehidupan sehari hari yang keras, malahan kejam. Saya mencoba untuk mengerti dan lebih mendalaminya, dan saya melihat suatu kondisi yang sangat kompleks, menyangkut kultur, sosio ekonomis, psikologis, keamanan dan sekuriti pekerjaan dsb, sehingga usaha untuk memfokuskan sebab musababnya sangat mustahil dalam tulisan yang sederhana ini.

Saya mengakui bahwa saya senang melakukan refleksi, apalagi setelah melihat sesuatu yang menyentuh perasaan hati. Saya melihat penting nya dan perlu nya refleksi itu dilakukan secara kontinu. Penting menurut saya, karena dari pengalaman saya, dengan refleksi saya menyediakan waktu khusus untuk merenung sehingga dapat lebih dekat kepada Nya. Saya masih ingat pengalaman waktu masih kuliah di universitas dahulu, ada seorang teman yang menganggap dirinya gagah dan ganteng. Perasaan ini sering diucapkan atau diungkapkan kepada teman teman lainnya. Karena hal ini dilakukan berulang ulang, akhirnya ada juga yang berkata, ...  bung, ngaca dulu dong! Disinilah, saya melihat faktor perlu nya untuk melakukan refleksi, yaitu untuk berhenti sebentar, introspeksi dan kalau perlu melakukan koreksi.


Salah satu sumber favorit saya untuk melakukan refleksi, adalah membaca buku karangan Anthony de Mello, seorang imam Jesuit di India. Dalam bukunya, almarhum selalu mengingatkan bahwa manusia itu senang membuat program atau "attachment" didalam dirinya. Program itu adalah untuk "membesarkan" dirinya sendiri yang dilakukan dengan bermacam macam cara. Kita sering melihat banyak orang yang senang menuliskan


Back to Mainpage