gelar didepan atau dibelakang namanya, untuk
memberikan kesan yang berarti kepada
orang
lain. Juga kita sering lihat anak muda
lelaki
yang senang membayangkan dirinya mengendarai
mobil yang "wah" supaya gadis
gadis
yang melihatnya akan ber decak bibirnya,
karena kagum. Dilain pihak, orang sangat
takut kalau dirinya itu dikecilkan.
Banyak
orang tersinggung kalau melihat teman
yang
lewat didepannya tanpa menyapanya.
Tanpa
melihat atau mengetahui keadaan temannya
itu, dia langsung marah. Sikap membesarkan
diri sendiri ini, konsisten dengan
apa yang
sering dikatakan oleh guru waktu saya
belajar
/ kursus pelajaran agama, yang mengatakan ... human enjoys and likes playing God. Banyak
yang tidak menyadari bahwa sikap inilah
yang
sering membuat manusia gagal. Jangan
dipandang
enteng bahwa banyak orang berpendapat
bahwa,
"kebesaran" ini harus dipertahankan
dengan segala macam cara, kalau perlu,
kita
harus marah dan berkelahi.
Kebetulan, saya juga pernah membaca buku
refleksi karangan Gerald Hughes, seorang
imam di Amerika yang sering memberikan
refleksi
/ retreat kepada mahasiswa. Dia mengajak
kita untuk berimajinasi, bahwa Jesus
datang
berkunjung, yang diikuti dengan permintaan
untuk menginap. Karena kita tahu siapa
yang
membuat permintaan, tentu saja kita
tidak
akan menolak. Kita bisa bayangkan apa yang akan terjadi, begitu diketahui
bahwa Jesus tinggal dirumah kita. Para
pemuka
agama datang menghadap Nya, pimpinan
masyarakat,
para selebriti begitupun juga pengusaha
pengusaha
yang berhasil. Tentu saja kita senang
melihat
orang orang penting tersebut datang
kerumah
kita, sehingga dapat berkenalan dengan
mereka.
Jesus, tidak dan tidak akan berubah
seperti
ditulis didalam injil, dia memperhatikan
semua orang diseluruh lapisan masyarakat,
tidak saja yang sukses, tetapi juga
orang
yang miskin , marjinal, para tuna wisma,
kriminal termasuk para pelacur. Disinilah,
sangat mungkin terjadi konflik dalam
diri
kita. Marilah kita bertanya dalam diri
masing
masing, apakah kelompok terakhir ini
akan
kita perbolehkan untuk datang kerumah
kita,
malahan masuk kedalam hati kita?
Dari contoh cerita diatas, kita dapat merasakan
adanya conditioning, persyaratan, attachment
didalam kehidupan rohani masing masing begitupun
dalam bermasyarakat.
| |
Misalnya saja, banyak orang mau melakukan
persekutuan, tetapi orang orangnya
harus
diseleksi dahulu, harus yang berprofesi
dan
setingkat dan kalangan tertentu saja.
Contoh
lainnya, saya akan pergi ke misa, asalkan
khotbahnya penuh humor, tidak monoton
dan
membosankan, begitupun lagu lagunya.
Belum
lagi ada orang yang senang memberikan
perpuluhan,
asalkan saja, usahanya terus maju.
Sikap
seperti ini, yang penuh dengan asalkan , ... jelas akan meng-kontaminasi malah meng-korup
iman kita. Iman dan Tuhan dilewatkan melalui
"saringan" yang dibuat manusia.
Sikap yang sama juga dapat membuat kita memiliki
ekspektasi yang berlebihan, malahan
tidak
rasional lagi. Misalnya saja, dengan
mengikuti
jemaah tertentu, kita menjadi lebih
selamat,
bebas dari penderitaan, penyakit ataupun
kesusahan dst. Saya pernah membaca
suatu
slogan dari sebuah gereja didekat rumah
yang
mengatakan, Jesus is always my only
solution.
Saya melihat dalam kehidupan sehari hari ini, kita perlu memilah milah
dengan baik, yang mana persoalan iman,
kesehatan,
ekonomi dan sebagainya. Apakah semuanya
itu
harus melewati Jesus? Misalnya saja, kalau saya mengalami persoalan
dalam pekerjaan ataupun keluarga, saya
lebih
cendrung untuk menemui seorang profesional
dalam bidang ini.
Saya jadi ingat tulisan Anthony de Mello
tentang orang yang berpendapat bahwa
Tuhan
selalu membebaskan manusia dari kesusahan.
Dalam bukunya, dia menceritakan tentang
orang
yang meninggalkan sepeda yang baru dibelinya, ditengah pasar untuk berbelanja.
Setelah selesai berbelanja, saking
sibuknya
dia lupa dengan sepedanya dan terus
pulang
kerumah. Sesampainya dirumah, barulah
dia
teringat akan sepeda barunya, dan cepat
cepatlah
dia berlari kepasar. Dia mengira sepedanya
telah dicuri orang dan, surprise surprise,
ternyata sepedanya masih ada ditempat
yang
sama. Saking gembiranya dapat melihat
sepedanya
kembali, dia berlari lagi menuju gereja
yang
terdekat, mengucapkan terima kasih
dan memuji
Tuhan, karena telah menjaga sepedanya.
Tetapi,
waktu dia selesai berdoa dan ingin
mengambil
sepedanya, ternyata dia tidak dapat
menemui
sepedanya lagi, karena telah dicuri
orang.
Dalam acara doa rosario bulan Desember lalu,
renungan ini saya lontarkan untuk menyambut
Natal dengan bercermin kepada kepada
sikap
Bunda Maria yang diberi kabar gembira
oleh
|