KARISMATIK KATOLIK INDONESIA  HOLY SPIRIT
(KKIHS)
Room 0302, 3rd Floor, Holy Spirit Church
248 Upper Thomson Road, Singapore 574371


APRIL MEI JUNI JULI AGUSTUS SEPTEMBER OKTOBER NOVEMBER DESEMBER

EDISI 10 Januari 2003


ANAK YANG KETIGA ?
(Matius 21: 28-32)

Oleh A.S.Hadiwiyata
(anggota Lembaga Biblika Indonesia)

Bapak itu dengan bangga menceritakan tentang keluarganya. Isterinya, anak-anaknya, bahkan keponakan yang ikut dengannya sudah dibaptis. Hanya dia sendiri yang belum. Padahal hampir seluruh pendidikannya diperoleh di sekolah susteran dan bruderan. Tanpa ditanya ia mengutarakan alasannya : saya belum siap menjadi Katolik.

Mendengar pengakuan jujur seperti itu mungkin orang heran. Apa sih susahnya, kan situasinya mendukung, apalagi keluarganya. Masih mau menunggu apa lagi? Kalau terlambat malah berabe. Tetapi di sisi lain, orang menaruh hormat, menghargai pendirian dan keputusannya itu. Terutama pandangan bahwa memeluk suatu agama itu perlu pemikiran masak. Tidak hanya asal “masuk”. Orang mesti memikirkan segala akibat, segala konsekuensi dari cara hidup yang baru ini, begitu ia memberi penjelasan. Maka lebih baik ia menunda dulu, daripada sudah “masuk” tetapi tidak bertindak dan bersikap sesuai dengan komitmennya yang baru.

Keseriusan dalam sikap dan tindakan semacam ini kiranya yang dimaksudkan Yesus ketika Ia mengucapkan sebuah perumpamaan tentang dua anak yang diminta ayahnya untuk membantu pekerjaannya. Yang satu menyanggupi, tetapi tidak melaksanakan. Sementara yang lain tidak menyanggupi, tetapi toh akhirnya bekerja juga.

Aslinya perumpamaan ini mungkin mau menyindir banyak teman sebangsa-Nya, yang seperti anak pertama menyanggupi untuk setia kepada perjanjian, tetapi pada akhirnya tidak hidup sesuai dengan komitmen mereka. Sementara kelompok-kelompok lain, para pendosa, para pemungut cukai, bangsa-bangsa bukan Yahudi – yang menurut kaca mata keyahudian – bukan bangsa pilihan, yang pada permulaan tidak mau percaya, akhirnya mau menerima Kristus sebagai utusan Bapa. Mereka ini dalam perihidupnya berusaha melaksanakan

hukum-hukum dan ketetapan-ketetapan Allah, yang karenanya mendapat kebahagiaan dan keselamatan.

Ingat Komitmen. Seorang rekan pernah mengutarakan bahwa menganut suatu agama tidak hanya berarti mempercayai segala yang diajarkan agama itu, tetapi juga berusaha menghayati dan menghidupi segala petunjuk dan ketetapan yang digariskan. Seandainya  semua orang yang beragama bersikap dan bertindak sesuai dengan komitmen awal dan dasariah ini – begitu rekan tadi meneruskan pendapatnya – maka keadaan dunia ini akan damai, tenteram, tidak ada permusuhan, tidak ada pertikaian, tidak ada saling sodok, tidak ada saling menjatuhkan. Yang ada adalah saling menghargai, saling menghormati, saling mendukung, hidup dalam suasana gotong royong, sehingga alam pun ikut mendukung, subur makmur, aman sejahtera.

Sayangnya, hal demikian hanyalah semacam impian saja. Kenyataannya, manusia harus terus berjuang untuk mengalahkan dan mengatasi kelemahan yang sudah melekat pada kodratnya. Ternyata  kehidupan yang konkret berbicara lain sama sekali. Keadaan ini merupakah salah satu akibat dari sikap seperti anak pertama, yang mengatakan “ya” sanggup, tetapi ternyata tidak melaksanakan kesanggupannya. Ini berarti bahwa dunia ini dipenuhi oleh “anak-anak pertama”, yang tidak setia pada komitmen awal mereka.

Minimal, sekali setahun umat Katolik diingatkan akan komitmen semacam ini. Dalam rangkaian upacara malam Paskah, umat diajak memperbaharui janji Baptis. Isinya sangat bagus, di antaranya kesanggupan untuk menentang kejahatan dalam diri sendiri dan dalam masyarakat; kesanggupan untuk menolak godaan-gosaan setan dalam bentuk takhayul, perjudian, hiburan tidak sehat, kesanggupan untuk berjuang melawan segala tindakan dan kebiasaan tidak adil dan tidak jujur, yang melanggar hak-hak asasi manusia.

Jika dipikirkan masak-masak, kesangupan-kesanggupan semacam ini merupakan hal-hal yang besar, yang perlu diusahakan dan diperjuangkan terus-menerus. Umat ibarat anak-


Back to Mainpage