ANAK YANG KETIGA ?
(Matius 21: 28-32)
Oleh A.S.Hadiwiyata
(anggota Lembaga Biblika Indonesia)
Bapak itu dengan bangga menceritakan tentang
keluarganya. Isterinya, anak-anaknya,
bahkan
keponakan yang ikut dengannya sudah
dibaptis.
Hanya dia sendiri yang belum. Padahal
hampir
seluruh pendidikannya diperoleh di
sekolah
susteran dan bruderan. Tanpa ditanya
ia mengutarakan
alasannya : saya belum siap menjadi
Katolik.
Mendengar pengakuan jujur seperti itu mungkin
orang heran. Apa sih susahnya, kan
situasinya
mendukung, apalagi keluarganya. Masih
mau
menunggu apa lagi? Kalau terlambat
malah
berabe. Tetapi di sisi lain, orang
menaruh
hormat, menghargai pendirian dan keputusannya
itu. Terutama pandangan bahwa memeluk suatu agama
itu perlu pemikiran masak. Tidak hanya
asal
“masuk”. Orang mesti memikirkan segala
akibat,
segala konsekuensi dari cara hidup
yang baru
ini, begitu ia memberi penjelasan.
Maka lebih
baik ia menunda dulu, daripada sudah
“masuk”
tetapi tidak bertindak dan bersikap
sesuai
dengan komitmennya yang baru.
Keseriusan dalam sikap dan tindakan semacam
ini kiranya yang dimaksudkan Yesus ketika
Ia mengucapkan sebuah perumpamaan tentang
dua anak yang diminta ayahnya untuk membantu
pekerjaannya. Yang satu menyanggupi, tetapi
tidak melaksanakan. Sementara yang lain tidak
menyanggupi, tetapi toh akhirnya bekerja
juga.
Aslinya perumpamaan ini mungkin mau menyindir
banyak teman sebangsa-Nya, yang seperti
anak
pertama menyanggupi untuk setia kepada
perjanjian,
tetapi pada akhirnya tidak hidup sesuai
dengan
komitmen mereka. Sementara kelompok-kelompok
lain, para pendosa, para pemungut cukai,
bangsa-bangsa bukan Yahudi – yang menurut
kaca mata keyahudian – bukan bangsa
pilihan,
yang pada permulaan tidak mau percaya,
akhirnya
mau menerima Kristus sebagai utusan
Bapa.
Mereka ini dalam perihidupnya berusaha
melaksanakan
| |
hukum-hukum dan ketetapan-ketetapan Allah,
yang karenanya mendapat kebahagiaan
dan keselamatan.
Ingat Komitmen. Seorang rekan pernah mengutarakan bahwa
menganut suatu agama tidak hanya berarti
mempercayai segala yang diajarkan agama
itu,
tetapi juga berusaha menghayati dan
menghidupi
segala petunjuk dan ketetapan yang
digariskan.
Seandainya semua orang yang beragama bersikap dan bertindak
sesuai dengan komitmen awal dan dasariah
ini – begitu rekan tadi meneruskan
pendapatnya
– maka keadaan dunia ini akan damai,
tenteram,
tidak ada permusuhan, tidak ada pertikaian,
tidak ada saling sodok, tidak ada saling
menjatuhkan. Yang ada adalah saling menghargai, saling
menghormati, saling mendukung, hidup
dalam
suasana gotong royong, sehingga alam
pun
ikut mendukung, subur makmur, aman
sejahtera.
Sayangnya, hal demikian hanyalah semacam
impian saja. Kenyataannya, manusia
harus
terus berjuang untuk mengalahkan dan
mengatasi
kelemahan yang sudah melekat pada kodratnya.
Ternyata kehidupan yang konkret berbicara lain sama
sekali. Keadaan ini merupakah salah
satu
akibat dari sikap seperti anak pertama,
yang
mengatakan “ya” sanggup, tetapi ternyata
tidak melaksanakan kesanggupannya.
Ini berarti
bahwa dunia ini dipenuhi oleh “anak-anak
pertama”, yang tidak setia pada komitmen
awal mereka.
Minimal, sekali setahun umat Katolik diingatkan
akan komitmen semacam ini. Dalam rangkaian
upacara malam Paskah, umat diajak memperbaharui
janji Baptis. Isinya sangat bagus,
di antaranya
kesanggupan untuk menentang kejahatan
dalam
diri sendiri dan dalam masyarakat;
kesanggupan
untuk menolak godaan-gosaan setan dalam
bentuk
takhayul, perjudian, hiburan tidak
sehat,
kesanggupan untuk berjuang melawan
segala
tindakan dan kebiasaan tidak adil dan
tidak
jujur, yang melanggar hak-hak asasi
manusia.
Jika dipikirkan masak-masak, kesangupan-kesanggupan
semacam ini merupakan hal-hal yang
besar,
yang perlu diusahakan dan diperjuangkan
terus-menerus.
Umat ibarat anak-
|