malaikat Tuhan. Dari bacaan injil Lukas 1
: 28-38, 46-56 kita dapat melihat bagaimana
respons Ibu Maria yang selalu rendah
hati,
sederhana, dan besar rasa peduli kepada
kaum
marjinal.
Dalam menyongsong tahun baru 2003 ini, melalui
renungan ini saya ingin mengajak untuk merenung bersama sama , bercermin, meluruskan semua yang tidak
atau kurang konsisten, melepaskan seluruh
attachment / conditioning yang tidak
perlu
dalam hidup ini, sehingga hati masing
masing
menjadi jernih, sejuk, seperti air
segar
yang baru keluar dari mata air.
Menabur Benih Religiositas
Pada Anak
Dikutip dari “HIDUP”, Mingguan Umat Beriman,kolom Tajuk, terbitan No.39, Tahun LVI, 29
September 2002
Apakah tujuan orangtua menanamkan sikap religius
pada anak ? Jelas, agar anak dapat
merasakan
cinta kasih Tuhan dalam hidupnya, melalui
orang-orang di sekelilingnya. Harapan
orangtua,
agar kelak kalau bocah-bocah itu sudah
dewasa,
dapat menjadi orang beriman. Konkretnya,
orang yang hidupnya menjadi pujian
bagi Allah
dan berkat bagi sesama. Namun apa yang
terjadi
dewasa ini? Orang membunuh orang lain
atas
nama pembelaan terhadap agama. Dalam
beberapa
dasawarsa terakhir ini, kita dididik
lebih mencintai agama daripada mencintai
Tuhan. Akibatnya, perasaan dan kesadaran eksklusif kelompok agama sendiri menjadi
semakin kokoh. Muncullah paradigama “kawan” dan “bukan
kawan” karena berbeda agama. Dengan
mudah
orang terjebak dalam dikotomi sosial,
“ia
bukan orang kita”, hanya karena agamanya
berbeda.
Kalau kita ingin menumbuhkan sikap religius
pada anak, kita tentu tidak bermaksud
untuk
mendidik anak agar nanti menjadi manusia-manusia
yang dikotomis dan konfrontatif seperti
di
atas. Ribuan nyawa telah hilang sia-sia
dalam
konflik agama dengan paradigma dikotomis
di atas. Ambon dan Poso adalah saksi sejarah atas kisah-kisah tragis konflik
antar umat beragama. Kita yakin, konflik itu pasti dipicu oleh
kepentingan-kepentingan non-religius.
Kita
juga yakin, religiositas yang sejati
akan
membawa rahmat dan kebaikan bagi manusia
dan seluruh semesta.
| |
Kita masih ingat ucapan terkenal yang sering
disitir media dari Prof. Dr. KH Said
Aqil
Siradj MA. Katanya, “saya dengan Romo
Mangun
itu agamanya berbeda, tetapi imannya
sama.
Saya dengan Pak Harto itu agamanya
sama,
tetapi imannya berbeda.” Iman yang
dinyatakan
Said Aqil, dan juga dimaksudkan oleh
Romo
Mangun (almarhum) tidak lain adalah
sikap
religius itu. Sikap religius akan membuat
seseorang yakin dan percaya, bahwa
masih
ada hidup di balik kehidupan yang tampak
ini. Suatu sikap yang akan membuat
seseorang
sebagai ciptaan merasa kecil di hadapan
Sang
Pencipta, yang ia temukan dalam keheningan
dan nurani yang bening. Suatu sikap
yang
akan menuntunnya kepada cinta sesama sebagai sesama ciptaan Allah. Suatu sikap yang akan mendorong orang untuk
terus berbuat baik.
Sikap ini muskil terbentuk dalam lingkungan
di mana orang curiga dan bermusuhan
satu
sama lain. Sikap ini muskil terbentuk
pula
dalam keadaan di mana masyarakat lebih
mencintai
agamanya (sebagai institusi sosial)
ketimbang
mencintai Tuhan Allahnya. Sikap ini
muskil
berkembang dalam diri anak, kalau yang
setiap
hari ia lihat adalah perbuatan-perbuatan
negatif, yang bertentangan dengan ajaran
bagus yang mereka dengar dari orang
dewasa.
Karena itu, menanamkan sikap religius
pada
anak pertama dan terutama menuntut
agar orang-orang
yang sudah dewasa berkarakter religius.
Baru
kalau demikian, hidup kita memancarkan
nilai-nilai
kehidupan iman. Pancaran inilah yang
terus
membenih dan berkembang dalam nurani
anak
yang dipercayakan Allah kepada kita.
Memberi
kesaksian hidup religius inilah panggilan
kita sebagai orang tua dan pendidik.
|