KARISMATIK KATOLIK INDONESIA  HOLY SPIRIT
(KKIHS)
Room 0302, 3rd Floor, Holy Spirit Church
248 Upper Thomson Road, Singapore 574371


APRIL MEI JUNI JULI AGUSTUS SEPTEMBER OKTOBER NOVEMBER DESEMBER

EDISI 10 Januari 2003

malaikat Tuhan. Dari bacaan injil Lukas 1 : 28-38, 46-56 kita dapat melihat bagaimana respons Ibu Maria yang selalu rendah hati, sederhana, dan besar rasa peduli kepada kaum marjinal.

Dalam menyongsong tahun baru 2003 ini, melalui renungan ini saya ingin mengajak  untuk merenung bersama  sama , bercermin, meluruskan semua yang tidak atau kurang konsisten, melepaskan seluruh attachment / conditioning yang tidak perlu dalam hidup ini, sehingga hati masing masing menjadi jernih, sejuk, seperti air segar yang baru keluar dari mata air.


Menabur Benih Religiositas
Pada Anak

Dikutip dari “HIDUP”, Mingguan Umat Beriman,kolom Tajuk, terbitan No.39, Tahun LVI, 29 September 2002

Apakah tujuan orangtua menanamkan sikap religius pada anak ? Jelas, agar anak dapat merasakan cinta kasih Tuhan dalam hidupnya, melalui orang-orang di sekelilingnya. Harapan orangtua, agar kelak kalau bocah-bocah itu sudah dewasa, dapat menjadi orang beriman. Konkretnya, orang yang hidupnya menjadi pujian bagi Allah dan berkat bagi sesama. Namun apa yang terjadi dewasa ini? Orang membunuh orang lain atas nama pembelaan terhadap agama. Dalam beberapa dasawarsa terakhir ini, kita dididik lebih mencintai agama daripada mencintai Tuhan. Akibatnya, perasaan dan kesadaran eksklusif kelompok agama sendiri menjadi semakin kokoh. Muncullah paradigama “kawan” dan “bukan kawan” karena berbeda agama. Dengan mudah orang terjebak dalam dikotomi sosial, “ia bukan orang kita”, hanya karena agamanya berbeda.

Kalau kita ingin menumbuhkan sikap religius pada anak, kita tentu tidak bermaksud untuk mendidik anak agar nanti menjadi manusia-manusia yang dikotomis dan konfrontatif seperti di atas. Ribuan nyawa telah hilang sia-sia dalam konflik agama dengan paradigma dikotomis di atas. Ambon dan Poso adalah saksi sejarah atas kisah-kisah tragis konflik antar umat beragama. Kita yakin, konflik itu pasti dipicu oleh kepentingan-kepentingan non-religius. Kita juga yakin, religiositas yang sejati akan membawa rahmat dan kebaikan bagi manusia dan seluruh semesta.

Kita masih ingat ucapan terkenal yang sering disitir media dari Prof. Dr. KH Said Aqil Siradj MA. Katanya, “saya dengan Romo Mangun itu agamanya berbeda, tetapi imannya sama. Saya dengan Pak Harto itu agamanya sama, tetapi imannya berbeda.” Iman yang dinyatakan Said Aqil, dan juga dimaksudkan oleh Romo Mangun (almarhum) tidak lain adalah sikap religius itu. Sikap religius akan membuat seseorang yakin dan percaya, bahwa masih ada hidup di balik kehidupan yang tampak ini. Suatu sikap yang akan membuat seseorang sebagai ciptaan merasa kecil di hadapan Sang Pencipta, yang ia temukan dalam keheningan dan nurani yang bening. Suatu sikap yang akan menuntunnya kepada cinta sesama sebagai sesama ciptaan Allah. Suatu sikap yang akan mendorong orang untuk terus berbuat baik.

Sikap ini muskil terbentuk dalam lingkungan di mana orang curiga dan bermusuhan satu sama lain. Sikap ini muskil terbentuk pula dalam keadaan di mana masyarakat lebih mencintai agamanya (sebagai institusi sosial) ketimbang mencintai Tuhan Allahnya. Sikap ini muskil berkembang dalam diri anak, kalau yang setiap hari ia lihat adalah perbuatan-perbuatan negatif, yang bertentangan dengan ajaran bagus yang mereka dengar dari orang dewasa. Karena itu, menanamkan sikap religius pada anak pertama dan terutama menuntut agar orang-orang yang sudah dewasa berkarakter religius. Baru kalau demikian, hidup kita memancarkan nilai-nilai kehidupan iman. Pancaran inilah yang terus membenih dan berkembang dalam nurani anak yang dipercayakan Allah kepada kita. Memberi kesaksian hidup religius inilah panggilan kita sebagai orang tua dan pendidik.



Back to Mainpage