KARISMATIK KATOLIK INDONESIA HOLY SPIRIT
Room 0302, 3rd Floor, Holy Spirit Church, 248 Upper Thomson Road, Singapore 574371

APRIL MEI JUNI JULI AGUSTUS SEPTEMBER OKTOBER NOVEMBER DESEMBER JANUARI FEBRUARI

EDISI 12 Maret 2003

“Ingatlah, kita ini abu dan akan kembali menjadi abu”
2 Kor 5 : 20 – 6 : 2; Mat 6 : 1 – 6, 16 – 18
Diambil dari : RENUNGAN RABU ABU
Seri Perayaan Liturgi 4, J.Kristanto S.,Pr
Oleh JAS

Masa Prapaskah diawali dengan penerimaan salib abu di dahi kita.  Dalam liturgi, abu dipakai untuk mengungkapkan rasa tobat dan penyesalan karena manusia mengakui kerapuhan dan kelemahannya (Yun 3:6) dan sekaligus melambangkan harapan akan kebangkitan, dimana segala sesuatu akan lenyap dan hangus oleh nyala api dan digantikan oleh bumi dan langit baru (2 Ptr 3:10-13). Dalam Kitab Suci, abu juga menjadi simbol kepedihan hati yang mendalam serta silih atas dosa (Bil 19:9, 17-18; Ibr 9:13).

Ketika kita menerima abu, pemimpin akan mengucapkan salah satu kutipan Kitab Suci ini : [1] Ingatlah, kita ini abu dan akan kembali menjadi abu, atau, [2] Bertobatlah dan percayalah kepada Injil.

Kita akan memperhatikan dua kalimat tersebut untuk mencari makna hari Rabu Abu :

[1]“Ingatlah, kita ini abu dan akan kembali menjadi abu” (Kej 3 : 19).  Kita menemukan kutipan ayat ini dalam kisah “manusia jatuh dalam dosa (Kej 3:1-24). Setelah Adam dan Hawa makan buah dari pohon terlarang, Tuhan memperlihatkan Diri dan menegur mereka.  Ular pun ikut dikutuk (ay.14), Hawa dihukum, “dengan kesakitan engkau akan melahirkan anakmu” (ay.16), demikian juga Adam, “dengan bersusah payah engkau akan mencari rezekimu dari tanah seumur hidupmu . . . dengan berpeluh engkau akan mencari makananmu, sampai engkau kembali lagi menjadi tanah, karena dari situlah engkau diambil; sebab engkau debu dan engkau akan kembali menjadi debu.” (ay.17,19).  Tampak ada perbedaan sedikit, yaitu kata “debu” dengan “abu”, namun yang dimaksudkan kiranya sama, yaitu “tanah” atau benda mati.

Kalau kita melihat tanah liat, kita hanya mendapatkan benda mati, tidak berbentuk, tidak menarik, bahkan bisa

menjatuhkan sebab licin.  Namun di tangan pemahat atau pematung, tanah yang mati dan tidak berbentuk itu bisa menjadi hiasan yang hidup; entah berupa patung manusia, binatang atau hiasan dinding/ruangan yang sungguh menarik.  Tanah yang mati diberinya “roh” oleh pematung, sehingga menjadi suatu bentuk yang “hidup”.  Demikian juga, “Tuhan Allah membentuk manusia dari debu tanah dan mengembuskan napas hidup ke dalam hidungnya; demikianlah manusia itu menjadi mahluk yang hidup” (Kej 2:7).

Dalam perayaan Rabu Abu hari ini, kita memakai abu yang berasal dari daun-daun yang dipakai pada hari Minggu Palma tahun lalu. Dulu, daun-daun itu pernah hidup dan sekarang mati, kering dan dibakar sampai menjadi abu. Kita dilambangkan seperti abu itu.  Tanpa embusan napas dari Tuhan, kita mati.  Justru dosa-dosa yang hidup dalam diri kita itulah yang menyebabkan kita layu dan kering.  Harapan kita adalah abu itu dapat dihidupkan kembali.  Hal ini hanya mungkin bila Tuhan mengutus Roh diatasnya !  Syaratnya adalah … baca uraian no. 2 berikut ini.

[2]“Bertobatlah dan percayalah kepada Injil.”  Ajakan Yesus ini diucapkan pada awal karya-Nya (Mrk 1 : 15).  Ia mengajak kita supaya percaya kepada Injil, artinya kabar baik yang berasal dari Tuhan sendiri.  Namun untuk sampai ke situ, Yesus masih mempunyai tuntutan, “Bertobatlah!”  Kalau daun-daun yang layu dan kering bahkan sudah menjadi abu ini mau dihidupkan kembali, maka kita harus berani membalikkan arah, meninggalkan hidup lama yang penuh dengan “berhala-berhala” kedosaan dan nikmat duniawi”.  Dan kapan kita harus meninggalkan ?  “Saat inilah saat Ia berkenan; hari inilah hari penyelamatan itu” (2Kor 6 : 2).  Santo Paulus mengajak kita untuk tidak menyia-nyiakan kesempatan itu: hari ini kerjakanlah!

Jangan menunda dan mengulur-ulur waktu.  Tuhan mau mengembuskan napas-Nya untuk menghidupkan kita kembali.  Ia mengetahui segala yang telah mati dalam diri kita.  Tuhan yang

Back to Mainpage