“Ite Missa est” Oleh: JAS
HOBBY RETRET
Menjadi peserta retret adalah suatu hobby
bagi saya, dari pada bengong, be te,
bingung
mau ngapain, bosen lihat wajah suami
setiap
hari, hitung-hitung cuti jadi istri,
nggak
usah masak dan ngurus suami, sekalian
bisa
chit chat berlama-lama dengan teman-teman. Tahu sendiri kalau ngobrol sama ibu-ibu lama
sedikit saja, suami sudah bolak-balik,
tengak-tengok,
ada aja maunya nggak bisa lihat orang
lain
senang. Jadi jangan heran kalau setiap kali saya
tahu akan ada retret baik di dalam
paroki
maupun di luar paroki pasti nama saya
tertulis
didalamnya.
Sampai-sampai saya kadang malu kalau ditawari
teman2 retret selalu saya jawab sudah
pernah,
akhirnya saya ulangi retret yang sudah
pernah
bahkan lebih dari 1 kali. Kalo dulu saya memiliki motivasi dibalik
retret, maka sekarang ada tujuan yang
berbeda
sehingga retret yang sudah berulang-ulang
diikuti menjadi seperti baru.
Kebiasaan ikut retret tanpa tujuan itu mulai
berkurang bahkan menghilang, ketika
saya
mengikuti retret2 yang dijadwal dan
terprogram
dg baik di Cikanyere. Meski demikian, saya tetap tidak bisa berdoa
dalam bahasa Roh.
RETRET KARUNIA
Sampai suatu saat saya mengikuti retret Karunia,
dimana diawal session sudah ditegaskan
syarat2nya
yakni : perlunya hidup doa yg disiplin
dan
setia, hubungan yang dekat dg Tuhan
dan mampu
mengasihi dan mengampuni diri sendiri
dan
sesama yang hanya bisa didapat bila
ybs.
tidak memiliki luka batin, artinya
luka batinnya
sudah sembuh. Wah, bukannya sombong, saya merasa semua
syarat sudah terpenuhi, karena saya memang sudah mengikuti seluruh
tahap2 retret dengan setia. Ternyata itu saja tidak cukup, masih ada
lagi dan itu tidak disebutkan diawal
retret,
tapi disampaikan pada akhir hari pertama
retret. Ketika pembicara waktu itu menanyakan apakah
kami para peserta sudah bisa berdoa
dalam
bahasa Roh, sebagian dari kami menggeleng
kepala. Saat itulah pembicara tsb. menyadari kekurangannya,
dan segera menanyakan alasan2 kami
karena
Roh Kudus itu pemurah dan bukan pemaksa,
maka beliau mencurigai ketidak bisaan
kami
itu berasal dari diri kami sendiri. Nyatanya memang masing2 mengaku, ada yang
takut, ada yang merasa nggak perlu,
nggak
butuh dan nggak layak, kalo saya memang
nggak
mau he-he-he, soalnya saya hanya mau
punya
karunia menafsirkan bahasa Roh. Wah aku diketawain para panitia, lalu diingatkan
begini, kalau mau jadi penterjemah
bahasa
Inggris apakah seseorang mesti bisa
berbahasa
Inggris ? ‘Iya dong, sudah pasti harus
bisa’
jawab saya. Nah kalo mau bisa menafsirkan bahasa Roh
tapi tidak bisa berbahasa Roh, apa
bisa ? Wah, saya benar2 bingung, kenapa baru disadari
sekarang, tapi saya tetap bersyukur
sudah
diberi kesempatan untuk menyadari kesalahan
tsb. Satu persatu alasan2 kami dibahas dan mata
hati kami dibukakan, sehingga segala
rasa
takut, perasaan tidak layak dan ke
masabodo
an kami menjadi hilang, yang ada hanya
perasaan
terharu karena tentu saja karena kemurahan
Roh Kudus telah membawa kami kepada
session
dadakan ini.
PINTU KARUNIA
Maka di akhir hari pertama retret tsb. kami
diberikan session khusus untuk meminta
dan
latihan berdoa dalam bahasa Roh. Kesadaran bahwa telah lama Roh Kudus rindu
berkomunikasi dengan roh kami, sehingga
kami
dipilihnya untuk mengikuti retret ini,
menambah
kehausan kami untuk memperoleh karunia
berbahasa
Roh, yang ternyata merupakan karunia
utama,
sebagai pintu bagi karunia2 lainnya
dari
Roh Kudus. Puji Tuhan kami semua dilimpahi karunia luar
biasa, sehingga kami semua bisa berbahasa
Roh, dan hujan air mata terjadi malam
itu,
kami merasa gembira, terharu dan tersanjung.
KARUNIA2
Hari Kedua kami diberi kesempatan memeriksa
batin dan mendaraskan doa luka batin,
saling
mendoakan dan mengenal kelemahan dan
kekurangan
kedagingan manusia yang menjadi perongrong
utama dalam perkembangan dan kemajuan
pelayanan
kita sebagai ungkapan cinta kita kepada
Yesus
Tuhan kita. Dilanjutkan dengan ulasan2 tentang apa saja
karunia2 Roh Kudus dan bagaimana karunia
tsb. dapat digunakan dalam pelayanan
dan
dalam hidup seseorang. Dan yang paling penting adalah
|