Di lain pihak, kemiskinan itu memiliki cita-cita
positip karena di dalam menghayati
kemiskinan
itu timbul kerinduan akan Allah yang
dijumpai
dalam kepahitan pengalaman hidup, yaitu
pada
prakteknya, setiap manusia mengalami
kepahitan,
kekecewaan di dalam kehidupan sehari-hari.
Kepahitan dan kekecewaan di dalam kehidupan
sehari-hari ini seringkali disebabkan
oleh
diri sendiri, yaitu egoisme yang mendalam,
kelemahan-kelemahan dan kecenderungan
buruk,
kekurangsabaran, akhirnya semuanya
ini bersumber
kepada dosa asal. Semuanya ini menyebabkan
kita kurang dapat menikmati hidup yang
sebenarnya.
Karena itu bila kita benar-benar mampu
menghayati
kemiskinan ini, hal ini berarti bahwa
kita
memiliki kemampuan untuk terbuka bagi
Allah,
yang melahirkan pula keterbukaan terhadap
sesama. Karena kita berhasil keluar
dari
kesempitan diri kita. Orang demikian
ini
disebut Kristus orang yang bahagia.
Karena
mereka dapat bebas dari belenggu ketamakan
memiliki harta benda.
Cita-cita hidup miskin. Nasehat hidup miskin, pertama-tama bukan
suatu konsep, pengetahuan, teori, bahkan
bukan hukum ataupun benda-benda. Tetapi
kemiskinan
adalah anugerah Tuhan yang tak dapat
diraba,
suatu sikap batin yang tumbuh dari
hubungan
cinta mendalam antara dua pribadi.
Memang
sikap hidup ini dimulai dan diprakarsai
oleh
Tuhan sendiri yang memberikan DiriNya
untuk
kita. Dan menerima Tuhan yang memberikan
diriNya untuk kita, berarti bahwa kita
membiarkan
diri kita dituntun oleh kehidupan Tuhan
sendiri.
Bila hubungan cinta Tuhan dengan kita
cukup
mendalam, maka hubungan cinta ini mampu
mengubah
sikap dan pandangan kita terhadap barang-barang
yang ada di dunia ini. Memang kita
masih
membutuhkan barang-barang tersebut,
tetapi
arti dan kepentingan barang-barang
itu menjadi
amat relatip, karena ada nilai lain
yang
lebih penting dan kaya.
Semakin kita menghayati cinta Allah di dalam
hati melalui karyaNya di dalam kehidupan
kita, kita akan menjadi semakin terikat
dengan
Kristus, dan semakin kita sadari bahwa
kita
adalah milik Kristus. Dari kesadaran
inilah
terjadi perubahan hati dan sikap hidup.
Karena
itu dapat dikatakan bahwa menghayati
kemiskinan
injili berarti menjadi saksi atas nilai-nilai
batin yang kita temukan dalam hubungan
cinta
dengan Kristus, yaitu iman, harapan,
dan
cinta kasih yang kita miliki di dalam
Kristus.
Karena itu kemiskinan adalah sikap
batin
yang tumbuh dari nilai terdalam dalam
hubungan
kita dengan Kristus.
Kalau kita benar-benar paham akan arti kemiskinan
ini, maka kita menjadi sadar bahwa
kemiskinan
itu tidak hanya berarti sikap lepas
bebas
terhadap benda-benda, tetapi juga suatu
sikap
hidup terhadap Kristus sebagai pribadi,
terlibat
dalam keprihatinan Kristus. Kemampuan
kita
menghayati kemiskinan tersebut sangat
ditentukan
oleh sikap hidup kita terhadap Kristus.
Bila
sikap hidup kita terhadap Kristus kurang
mendalam bahkan tidak ada, maka keterikatan
kita akan harta benda dan diri sendiri
menjadi
sangat kuat. Selain itu sikap hidup
kita
terhadap Kristus akan memberikan warna
dan
menentukan pula hubunganku dengan para
anggota
dalam komunitas.
Berdasarkan penjelasan diatas kita dapat
berkata bahwa kemiskinan bukan pertama-tama
menanggalkan harta dan milik atau memutus
hubungan persahabatan dengan orang
lain,
tetapi kemiskinan pertama-tama adalah
integrasi
hidup dalam Tuhan, pembebasan dan pewahyuan.
Hal ini berarti bahwa dengan menghayati
benar-benar
kemiskinan itu kita ingin menwujudkan
kesadaran
kita bahwa semuanya itu berasal dari
Tuhan.
Melalui penghayatan kemiskinan kita
ingin
mempersembahkan seluruh hidup kepada
Sang
pemberi segala kebaikan, agar hidup
kita
ini disempurnakan dan menjadi utuh
di dalam
Dia. Kalau dikatakan bahwa kemiskinan
adalah
pengintegrasian hidup, hal ini berarti
bahwa
dengan menghayati kemiskinan seseorang
ingin
menata kembali hubungan antara hidup
manusia
dan harta benda menurut arti yang paling
dalam. Bila kita berhasil berbuat demikian,
maka kita akan merasa bahagia dan merasa
sungguh-sungguh bebas dan damai. Kita
merasa
bebas dari perbudakan sikap tamak,
ikatan
dangkal dengan benda-benda, kedudukan
dan
orang-orang lain, termasuk keluarga
dan sahabat.
Akhirnya kita menyadari bahwa kita
ini bukan
milik kita sendiri, tetapi menjadi
milik
Kristus. Kita menjadi rela melepaskan
hak
untuk memiliki sesuatu. Kita mampu
mengosongkan
diri agar diisi penuh dengan Cinta
Kristus.
Kesimpulan. Bila kita melihat Kitab Suci maka kita dapat
menyimpulan bahwa kemiskinan injili
berarti
keterbukaan akan Allah, yang melahirkan
pula
keterbukaan terhadap sesama. Kita dapat
terbuka
kepada Allah dan sesama, bila kita
berhasil
keluar dari kesempitan diri kita. Orang
demikian
inilah disebut Kristus orang yang bahagia,
karena mereka dapat bebas dari belenggu
ketamakan
memiliki harta benda. Sering kali orang
miskin
dianggap lemah, tidak berkekuatan,
hidupnya
tergantung kepada kebaikan orang lain,
dsbnya.
Tetapi orang yang benar-benar menghayati
kemiskinan injili, sebenarnya ia hidup
penuh
harapan dan sederhana, ia tidak menjadi
budak
dirinya, tidak serakah, main kuasa,
dsbnya.
Semuanya ini yang menyebabkan hidupnya
penuh
dengan kekecewaan dan hubungan kita
dengan
Tuhan dan sesama sangat dangkal.
Santo Paulus menulis suatu peringatan kepada
Timoteus, “Peringatkanlah orang-orang kaya
di dunia ini, bahwa mereka tidak boleh sombong
terhadap orang-orang lain dan supaya mereka
jangan percaya kepada uang, yang tak tentu
itu, melainkan kepada Allah yang dalam kekayaanNya
memberikan kepada kita semuanya yang kita
butuhkan” (Tim 6:17). Kemiskinan yang diajarkan
dan diteladani oleh Yesus Kristus membawa
kita kepada kebahagiaan dan kedamaian sejati
hidup di dunia dan di akhirat.(dikutip dari
WAICC Newsletter, Vol 5 No 5, May 2003.
|