KARISMATIK KATOLIK INDONESIA HOLY SPIRIT
Room 0302, 3rd Floor, Holy Spirit Church, 248 Upper Thomson Road, Singapore 574371


JANUARI FEBRUARI MARET APRIL&MEI

EDISI 14 Juni 2003

Di lain pihak, kemiskinan itu memiliki cita-cita positip karena di dalam menghayati kemiskinan itu timbul kerinduan akan Allah yang dijumpai dalam kepahitan pengalaman hidup, yaitu pada prakteknya, setiap manusia mengalami kepahitan, kekecewaan di dalam kehidupan sehari-hari. Kepahitan dan kekecewaan di dalam kehidupan sehari-hari ini seringkali disebabkan oleh diri sendiri, yaitu egoisme yang mendalam, kelemahan-kelemahan dan kecenderungan buruk, kekurangsabaran, akhirnya semuanya ini bersumber kepada dosa asal. Semuanya ini menyebabkan kita kurang dapat menikmati hidup yang sebenarnya. Karena itu bila kita benar-benar mampu menghayati kemiskinan ini, hal ini berarti bahwa kita memiliki kemampuan untuk terbuka bagi Allah, yang melahirkan pula keterbukaan terhadap sesama. Karena kita berhasil keluar dari kesempitan diri kita. Orang demikian ini disebut Kristus orang yang bahagia. Karena mereka dapat bebas dari belenggu ketamakan memiliki harta benda.

Cita-cita hidup miskin. Nasehat hidup miskin, pertama-tama bukan suatu konsep, pengetahuan, teori, bahkan bukan hukum ataupun benda-benda. Tetapi kemiskinan adalah anugerah Tuhan yang tak dapat diraba, suatu sikap batin yang tumbuh dari hubungan cinta mendalam antara dua pribadi. Memang sikap hidup ini dimulai dan diprakarsai oleh Tuhan sendiri yang memberikan DiriNya untuk kita. Dan menerima Tuhan yang memberikan diriNya untuk kita, berarti bahwa kita membiarkan diri kita dituntun oleh kehidupan Tuhan sendiri. Bila hubungan cinta Tuhan dengan kita cukup mendalam, maka hubungan cinta ini mampu mengubah sikap dan pandangan kita terhadap barang-barang yang ada di dunia ini. Memang kita masih membutuhkan barang-barang tersebut, tetapi arti dan kepentingan barang-barang itu menjadi amat relatip, karena ada nilai lain yang lebih penting dan kaya.

Semakin kita menghayati cinta Allah di dalam hati melalui karyaNya di dalam kehidupan kita, kita akan menjadi semakin terikat dengan Kristus, dan semakin kita sadari bahwa kita adalah milik Kristus. Dari kesadaran inilah terjadi perubahan hati dan sikap hidup. Karena itu dapat dikatakan bahwa menghayati kemiskinan injili berarti menjadi saksi atas nilai-nilai batin yang kita temukan dalam hubungan cinta dengan Kristus, yaitu iman, harapan, dan cinta kasih yang kita miliki di dalam Kristus. Karena itu kemiskinan adalah sikap batin yang tumbuh dari nilai terdalam dalam hubungan kita dengan Kristus.

Kalau kita benar-benar paham akan arti kemiskinan ini, maka kita menjadi sadar bahwa kemiskinan itu tidak hanya berarti sikap lepas bebas terhadap benda-benda, tetapi juga suatu sikap hidup terhadap Kristus sebagai pribadi, terlibat dalam keprihatinan Kristus. Kemampuan kita menghayati kemiskinan tersebut sangat ditentukan oleh sikap hidup kita terhadap Kristus. Bila sikap hidup kita terhadap Kristus kurang mendalam bahkan tidak ada, maka keterikatan kita akan harta benda dan diri sendiri menjadi sangat kuat. Selain itu sikap hidup kita terhadap Kristus akan memberikan warna dan menentukan pula hubunganku dengan para anggota dalam komunitas.

Berdasarkan penjelasan diatas kita dapat berkata bahwa kemiskinan bukan pertama-tama menanggalkan harta dan milik atau memutus hubungan persahabatan dengan orang lain, tetapi kemiskinan pertama-tama adalah integrasi hidup dalam Tuhan, pembebasan dan pewahyuan. Hal ini berarti bahwa dengan menghayati benar-benar kemiskinan itu kita ingin menwujudkan kesadaran kita bahwa semuanya itu berasal dari Tuhan. Melalui penghayatan kemiskinan kita ingin mempersembahkan seluruh hidup kepada Sang pemberi segala kebaikan, agar hidup kita ini disempurnakan dan menjadi utuh di dalam Dia. Kalau dikatakan bahwa kemiskinan adalah pengintegrasian hidup, hal ini berarti bahwa dengan menghayati kemiskinan seseorang ingin menata kembali hubungan antara hidup manusia dan harta benda menurut arti yang paling dalam. Bila kita berhasil berbuat demikian, maka kita akan merasa bahagia dan merasa sungguh-sungguh bebas dan damai. Kita merasa bebas dari perbudakan sikap tamak, ikatan dangkal dengan benda-benda, kedudukan dan orang-orang lain, termasuk keluarga dan sahabat. Akhirnya kita menyadari bahwa kita ini bukan milik kita sendiri, tetapi menjadi milik Kristus. Kita menjadi rela melepaskan hak untuk memiliki sesuatu. Kita mampu mengosongkan diri agar diisi penuh dengan Cinta Kristus.

Kesimpulan. Bila kita melihat Kitab Suci maka kita dapat menyimpulan bahwa kemiskinan injili berarti keterbukaan akan Allah, yang melahirkan pula keterbukaan terhadap sesama. Kita dapat terbuka kepada Allah dan sesama, bila kita berhasil keluar dari kesempitan diri kita. Orang demikian inilah disebut Kristus orang yang bahagia, karena mereka dapat bebas dari belenggu ketamakan memiliki harta benda. Sering kali orang miskin dianggap lemah, tidak berkekuatan, hidupnya tergantung kepada kebaikan orang lain, dsbnya. Tetapi orang yang benar-benar menghayati kemiskinan injili, sebenarnya ia hidup penuh harapan dan sederhana, ia tidak menjadi budak dirinya, tidak serakah, main kuasa, dsbnya. Semuanya ini yang menyebabkan hidupnya penuh dengan kekecewaan dan hubungan kita dengan Tuhan dan sesama sangat dangkal.

Santo Paulus menulis suatu peringatan kepada Timoteus, “Peringatkanlah orang-orang kaya di dunia ini, bahwa mereka tidak boleh sombong terhadap orang-orang lain dan supaya mereka jangan percaya kepada uang, yang tak tentu itu, melainkan kepada Allah yang dalam kekayaanNya memberikan kepada kita semuanya yang kita butuhkan” (Tim 6:17). Kemiskinan yang diajarkan dan diteladani oleh Yesus Kristus membawa kita kepada kebahagiaan dan kedamaian sejati hidup di dunia dan di akhirat.(dikutip dari WAICC Newsletter, Vol 5 No 5, May 2003
.


Back to Mainpage