PASKAH: VISI HIDUP BARU
YANG MEMPERSATUKAN KITA
Oleh: Romo Andrew Ko’A, SVD
Pesta Paskah sudah diambang pintu dan kita
semua diundang untuk berpartisipasi secara
aktif dalam perayaan ini. Namun, sebelum
kita merayakan Paskah setiap tahun, Gereja menyiapkan waktu khusus untuk umatnya
guna merefleksi dan introspeksi diri
dalam
terang Biblis. Masa ini kita sebut
masa prapaskah,
dimana umat Kristiani entah secara
kelompok,
keluarga maupun secara pribadi, merenungkan
makna terdalam dari kisah sengsara
Tuhan
kita Yesus Kristus. Bila kita sungguh
mendalaminya,
maka sengsara, wafat dan kebangkitan
Tuhan
kita Yesus Kristus akan lebih bermakna
bagi
perkembangan iman kita dalam kehidupan
setiap
hari. Lewat tulisan ini, penulis mengajak kita
semua untuk merenungkan tiga peristiwa
penting
yang dialami Yesus sebagai satu kesatuan
yang tidak terpisahkan. Peristiwa sengsara, wafat dan kebangkitan
Tuhan kita Yesus Kristus kiranya dapat
menjadi
inspirasi yang selalu baru bagi kita
dalam
menata perkembangan iman. Mengacu pada tema “PASKAH: SUATU VISI HIDUP
BARU YANG MEMPERSATUKAN KITA”, penulis
ingin
mengimplikasikan tiga peristiwa yang
dialami
Yesus sebagai peristiwa yang dialami
oleh
umat Kristiani juga.
Tiga peristiwa tersebut diatas akan menjadi
fokus perhatian kita, sebab ketiga
hal itu
sangat akrab dengan kehidupan manusia.
Sengsara,
kematian serta harapan akan kebangkitan
(suatu
hidup baru) selalu menjadi bahan diskusi
yang hangat, mulai dari orang-orang
sederhana
sampai pada ilmuwan, filsuf dan teolog.
Namun, sampai saat ini semua tabir rahasia
akan sengsara, kematian dan kebangkitan
terutama
yang terjadi pada pribadi Tuhan kita
Yesus
Kristus, belum semuanya terungkap.
Mengapa?
“……SENGSARA TUHAN, SENGSARA KITA………”
Kisah sengsara yang dialami Tuhan kita Yesus
Kristus sejak dari istana Pilatus sampai
di puncak Kalvari merupakan drama kematian
yang sungguh mengerikan. Drama kematian ini nyata dan dipertontonkan
kepada dan oleh manusia. Kita bisa
bayangkan,
bahwa secara manusia Yesus pasti tak
tahan
akan penderitaan yang dialamiNya. Tetapi
apapun
| |
yang terjadi Dia harus wafat dikayu salib
demi ketaatanNya kepada kehendak BapaNya
di Surga (Luk.14:24; Mat 10:38-39;
Fil 2:8).
Bagaimana kalau peristiwa yang sama dialami
oleh salah satu dari antara keluarga
kita
?
Peristiwa sengsara Yesus memang unik jika
dibandingkan dengan penderitaan yang
dialami
kita. Yesus menderita sengsara bukan
karena
Dia bersalah atau melakukan kejahatan,
melainkan
karena dituduh bersalah oleh orang-orang
Yahudi zaman itu, sehingga Pilatus
berani
mengabulkan permintaan mereka untuk
menghukum
orang (Manusia Yesus) yang tak bersalah
secara
hukum. Ini adalah problem hukum, apakah kesalahan
Yesus secara hukum? Apakah benar Yesus bersalah atau melanggar
hukum Yahudi sehingga Dia patut di
eksekusi
di salib? Ada banyak pertanyaan yang akan muncul jika
kita ingin menggali lebih dalam mengenai
sebab musabab penderitaan dan kematian
Yesus.
Namun sampai hari ini tak seorang pun yang
berani menggugat fasal kematian Yesus.
Bila
kita ingin menggugat, gugatlah diri
kita
sendiri, sebab kitalah sebab musabab
utama
dari kematian dan sengsara Yesus. Kalau kita berani berlaku demikian, maka
sengsara Tuhan Yesus akan menjadi lebih
akrab
dengan sengsara atau penderitaan yang
sudah
dan akan kita alami.
Kenyataan bahwa ada banyak di antara kita
yang menderita baik secara fisik maupun
mental.
Ada banyak di antara kita yang berlaku
seperti
para murid (selain Yohanes) yang “lari
dari
kenyataan” ketika melihat Yesus menderita
dalam perjalan menuju puncak Kalvari.
Kita sebenarnya belum akrab dengan penderitaan
kita sendiri dan apa lagi dengan penderitaan
Tuhan kita Yesus Kristus. Kita sebenarnya
“sakit”, tetapi berlaku seolah-olah
“tidak
sakit”, kita sebenarnya “tukang tuduh
menuduh”,
tetapi kita berlaku seolah-olah “semuanya
beres”, “kita adalah seolah-olah…”.
Adalah
baik kalau masa pra-paska ini merupakan
moment
yang paling istimewa di mana kita belajar
menjadi akrab dengan kenyataan yang
kita
alami, sambil bercermin pada penderitaan
yang dialami Yesus dari kaca mata iman
kita,
sehingga penderitaan kita dan penderitaan
Yesus menjadi akrab, dan pada akhirnya
kita
bisa dibebaskan dari konotasi-konotasi
yang
diberi tanda kutip di atas.
|