KARISMATIK KATOLIK INDONESIA HOLY SPIRIT
Room 0302, 3rd Floor, Holy Spirit Church, 248 Upper Thomson Road, Singapore 574371

JANUARI FEBRUARI MARET

EDISI 13 April/Mei 2003

PASKAH:  VISI HIDUP BARU
YANG MEMPERSATUKAN KITA

Oleh: Romo Andrew Ko’A, SVD

Pesta Paskah sudah diambang pintu dan kita semua diundang untuk berpartisipasi secara aktif dalam perayaan ini. Namun, sebelum kita merayakan Paskah setiap tahun,  Gereja menyiapkan waktu khusus untuk umatnya guna merefleksi dan introspeksi diri dalam terang Biblis. Masa ini kita sebut masa prapaskah, dimana umat Kristiani entah secara kelompok, keluarga maupun secara pribadi, merenungkan makna terdalam dari kisah sengsara Tuhan kita Yesus Kristus. Bila kita sungguh mendalaminya, maka sengsara, wafat dan kebangkitan Tuhan kita Yesus Kristus akan lebih bermakna bagi perkembangan iman kita dalam kehidupan setiap hari.  Lewat tulisan ini, penulis mengajak kita semua untuk merenungkan tiga peristiwa penting yang dialami Yesus sebagai satu kesatuan yang tidak terpisahkan.  Peristiwa sengsara, wafat dan kebangkitan Tuhan kita Yesus Kristus kiranya dapat menjadi inspirasi yang selalu baru bagi kita dalam menata perkembangan iman.  Mengacu pada tema “PASKAH: SUATU VISI HIDUP BARU YANG MEMPERSATUKAN KITA”, penulis ingin mengimplikasikan tiga peristiwa yang dialami Yesus sebagai peristiwa yang dialami oleh umat Kristiani juga.

Tiga peristiwa tersebut diatas akan menjadi fokus perhatian kita, sebab ketiga hal itu sangat akrab dengan kehidupan manusia. Sengsara, kematian serta harapan akan kebangkitan (suatu hidup baru) selalu menjadi bahan diskusi yang hangat, mulai dari orang-orang sederhana sampai pada ilmuwan, filsuf dan teolog.  Namun, sampai saat ini semua tabir rahasia akan sengsara, kematian dan kebangkitan terutama yang terjadi pada pribadi Tuhan kita Yesus Kristus, belum semuanya terungkap.  Mengapa?


“……SENGSARA TUHAN, SENGSARA KITA………”


Kisah sengsara yang dialami Tuhan kita Yesus Kristus sejak dari istana Pilatus sampai di puncak Kalvari merupakan drama kematian yang sungguh mengerikan.  Drama kematian ini nyata dan dipertontonkan kepada dan oleh manusia. Kita bisa bayangkan, bahwa secara manusia Yesus pasti tak tahan akan penderitaan yang dialamiNya. Tetapi apapun

yang terjadi Dia harus wafat dikayu salib demi ketaatanNya kepada kehendak BapaNya di Surga (Luk.14:24; Mat 10:38-39; Fil 2:8).  Bagaimana kalau peristiwa yang sama dialami oleh salah satu dari antara keluarga kita ?

Peristiwa sengsara Yesus memang unik jika dibandingkan dengan penderitaan yang dialami kita. Yesus menderita sengsara bukan karena Dia bersalah atau melakukan kejahatan, melainkan karena dituduh bersalah oleh orang-orang Yahudi zaman itu, sehingga Pilatus berani mengabulkan permintaan mereka untuk menghukum orang (Manusia Yesus) yang tak bersalah secara hukum.  Ini adalah problem hukum, apakah kesalahan Yesus secara hukum?   Apakah benar Yesus bersalah atau melanggar hukum Yahudi sehingga Dia patut di eksekusi di salib?  Ada banyak pertanyaan yang akan muncul jika kita ingin menggali lebih dalam mengenai sebab musabab penderitaan dan kematian Yesus.  Namun sampai hari ini tak seorang pun yang berani menggugat fasal kematian Yesus. Bila kita ingin menggugat, gugatlah diri kita sendiri, sebab kitalah sebab musabab utama dari kematian dan sengsara Yesus.  Kalau kita berani berlaku demikian, maka sengsara Tuhan Yesus akan menjadi lebih akrab dengan sengsara atau penderitaan yang sudah dan akan kita alami.

Kenyataan bahwa ada banyak di antara kita yang menderita baik secara fisik maupun mental. Ada banyak di antara kita yang berlaku seperti para murid (selain Yohanes) yang “lari dari kenyataan” ketika melihat Yesus menderita dalam perjalan menuju puncak Kalvari.  Kita sebenarnya belum akrab dengan penderitaan kita sendiri dan apa lagi dengan penderitaan Tuhan kita Yesus Kristus. Kita sebenarnya “sakit”, tetapi berlaku seolah-olah “tidak sakit”, kita sebenarnya “tukang tuduh menuduh”, tetapi kita berlaku seolah-olah “semuanya beres”, “kita adalah seolah-olah…”. Adalah baik kalau masa pra-paska ini merupakan moment yang paling istimewa di mana kita belajar menjadi akrab dengan kenyataan yang kita alami, sambil bercermin pada penderitaan yang dialami Yesus dari kaca mata iman kita, sehingga penderitaan kita dan penderitaan Yesus menjadi akrab, dan pada akhirnya kita bisa dibebaskan dari konotasi-konotasi yang diberi tanda kutip di atas.


Back to Mainpage