orang didaerah saya kalo dia pulang dengan
tubuh dan roh terpisah karena beriman
kepada
Tuhan Yesus. Saya bilang papa kami harus pulang untuk
membawa kebesaran nama Tuhan Yesus".
Rabu pagi puncak kritis dengan kondisi sangat2
sesak napas 90 (normal 18 – 22) dipasang
alat pembantu pernapasan dimulut 2
alat di
hidung 2 alat.
Disaat kritis kami hanya bisa berserah
dan
beriman. Saya ingat satu ayat (Kalau
kita
punya iman sebesar biji sesawi saja
jika
kita berkata kepada gunung itu beranjaklah
maka hal itu akan terjadi) ayat tersebut
sangat menguatkan saya.Kami belajar terus untuk semakin beriman
kepada Tuhan Yesus.
Siangnya alat bantu pernapasan dicopotin
satu, napasnya udah sesesak pagi tadi. Kemudian
Papa kami menerima Tuhan Yesus sebagai Juru
Selamat dan dibaptis sekitar jam 2 – 3 siang.
Dan sorenya pas jam besuk (sehari 2 kali
yaitu 10.00 – 11.00 dan 17.00 – 18.00) dan
kami melihat kondisi yang jauh berbeda sekarang
semua alat udah dibuka yang masih dipasang
adalah alat bantu pernapasan yang biasa yang
kecil. Apa yang terjadi diluar pikiran kami.
Jumat lalu papa kami sudah pulang ke daerah
dengan suka cita karena Tuhan Yesus yang
berkuasa atas dia. Dia pulang dengan membawa kabar suka
cita bahwa Tuhan Yesus telah menyembuhkan
dia. Praise the Lord. Hidup didalam iman
kepada Tuhan Yesus Kristus pasti penuh suka
cita dan tidak pernah sia-sia. God Bless You.
(Ditulis oleh Theresia Felinia, untuk menguatkan
mereka yang rutin pelayanan ke rumah
sakit).
Manfaatkan
Buku dan Multi Media
(Oleh Budi Santosa)
Di zaman modern sekarang ini, orangtua (suami-isteri)
banyak yang bekerja untuk menambah
penghasilan
rumah tangga mereka. Anak-anak yang
dilahirkan
oleh kedua
| |
orangtuanya yang bekerja, sering kekurangan
waktu untuk bertemu dengan ayah dan ibunya.
Apalagi mereka yang berdomisili di Jakarta
dan sekitarnya. Pertemuan mereka dengan anak-anaknya
boleh dikatakan hanya hitungan menit saja.
Hanya di pagi hari saja menjelang berangkat
ke kantor. Sedangkan, pulang kantor di malam
hari, anak-anaknya sudah terpulas tidur.
Jika si anak masih terjaga, giliran orangtuanya
yang tertidur karena kecapaian setelah seharian
bekerja.
Kondisi tersebut memperlihatkan betapa sempitnya
waktu berkomunikasi antara orang tua
dengan
anak-anaknya. Sehingga materi berkomunikasi
pun menjadi terpadatkan, yang penting-penting
saja atau dianggap penting, terutama
yang
berkaitan dengan uang, semisal soal
uang
sekolah, butuh pakaian atau sepatu
baru,
rencana rekreasi bersama. Tentang bagaimana
mengembangkan sikap religius terhadap
anak-anaknya,
yang seharusnya hal penting juga, sering
terabaikan.
Sebagai pembenaran, para orangtua sering
menyerahkan pada guru agama di sekolah
anak-anaknya.
Mereka kurang menyadari bahwa guru-guru
agama
itu jika sudah di rumah sesungguhnya
adalah
“senasib” dengan orang tua. Ia mempunyai suami/isteri
dan anak-anak dengan persoalan yang
sama.
Apalagi religiositas itu tidak selalu
identik
dengan agama. Romo Mangun (Pastor Y.B.Mangunwijaya
Pr almarhum) berpendapat, agama tidak
identik
dengan religiositas. Religiositas adalah
kedalaman, bukan hanya agama stuktural
dan
doktrinal. Aspek religiositas dan aspek
keagamaan
itu satu, tetapi juga dua. Ibarat “suami-isteri”
hendaknya tak terpisahkan. Keduanya
(agama
dan religiositas) harus saling melengkapi.
Seturut dengan alur pemikiran seperti itu,
maka untuk menumbuhkan sikap religius
pada
anak, khususnya anak-anak dari keluarga
Katolik,
bukan berarti sebatas pemberian materi-materi
kisah Kitab Suci pada anak-anak oleh
guru
agama. Di sini membutuhkan kerja sama
guru
agama dan peran orangtua bak pasangan
“suami-isteri”
yang saling melengkapi. Bagaimana bentuk
kerja sama tersebut? Barangkali hasil
rangkuman
dari pandangan nara sumber yang berhasil
dijaring dalam Edisi Khusus ini dapat
dijadikan
semacam tips baik untuk guru agama
maupun
orangtua dalam menumbuhkan sikap religius
pada anak.
|