Kategori:
Hal. Utama
Tentang Kami
Events
Persekutuan
Sharing
Bacaan Rohani
WebLinks
Galeri
Newsletter
Buku Tamu
Iklan KKIHS
One Bread One Body


Room 0302, 3rd Floor, Holy Spirit Church - 248 Upper Thomson Road - Singapore - 574371



Judul Sharing/Renungan Nama pengirim Tanggal Posting
Allah Peduli Fenni Azali 11 Desember 2002
Happy New Year Kwang 31 Desember 2002
Apakah Aku Menghakimi Sandy 10 April 2003
Mau Jadi Lilin?? Fenni Azali 12 Juni 2003
Here I am Lord Tedy Yusman 01 September 2003
O Lord, is it me? Fenni Azali 26 Oktober 2003
Bersyukurlah! Fenni Azali 13 November 2003


1 2 3 4 5 6 7 8 9 10


ALLAH PEDULI

Weekend panjang (Jumat libur soalnya- Hari Raya) pun berlalu begitu cepat, asyik juga jalan2 ke tempat baru selama 3 hari (Cuma ke KL kagak jauh2), tapi minggu bolos ke gereja jadinya. Makanya seninnya aku ngotot mau ke gereja.

Tapi ternyata cuaca tidak mendukung niatku itu. “Ah, kan bisa pake payung, manja amat” pikirku. Tapi ternyata lupa bawa payung, ngak mungkin basah2an ke gereja, dari kantor ke tempat cari taksi lumayan jauh lho. Jam 5 hujan reda, Puji Tuhan! Bisa ke gereja deh. Tapi ngak lama, guntur menyahut, yah! Hujan lagi! Pasrah deh. Jam 6 kurang 10 masih hujan, lumayan deras lagi. Yah,cuma bisa bilang ke Tuhan, “ Tuhan, aku mau ke gereja, tapi kalo hujan2 gini, gimana? Jam 6 teng kalo ngak jalan, udah ngak keburu ke gereja, tolong donk!” Seperti biasa dekat2 jam 6 aku udah siap2 mau pulang, beres2 ini itu, dan jam 6 teng liat keluar, Puji Tuhan, stop itu hujan. See..betapa berkuasanya Tuhan kita?

Satu lagi… Kamis malam, waktu pertemuan tanya-jawab dengan Romo, badan gue tiba2 bentol2 dan gatal banget, alergi kipas angin kali ya? Bingung dah, udah malam banget, dimana mau cari incidal (buat ngilangin gatal2), dirumah punya udah dibuang lagi, gara2 udah expired, trus iseng2 tanya Elren “ Ren, ada incidal ngak?” (99% udah yakin nanya2 orang2 mah pasti jawabannya ngak ada, lagian siapa yg iseng bawa incidal kemana2). “Ngak ada, Fen!” Yah kecewa juga walaupun berharapnya Cuma 1%, eh trus Elren nanya Julianto. Ternyata ada. Gila men, senangnya minta ampun, jadi hilang deh khawatir gue, langsung gue minum dan ngak lama udah OK, Cuma setelah itu badan gue merah2 bekas garukan..hahaha…Bukan main Tuhan kita, Dia Allah yang menyediakan. (Jul, boleh tuh stock incidalnya ditambah, siapa tau ntar ada yg gatal2 lagi, hehehe…Thanks ya!)

Tapi besok paginya… Bentol2 lagi (tapi Puji Tuhan, ngak gatal), mati dah, pagi2 buta dimana mau beli incidal, jam 6.15 am udah mesti kumpul di Newton carpark (mau ke KL nih ceritanya), masa batal ke KL, rugi udah bayar nih! Trus akhirnya nekad, pergi aja bentol2nya cuma ditangan dan badan, kaki dan muka belum, ngak papa deh pikirku, Cuma bisa minta tolong Tuhan, siapa lagi? Bilang ke orang2 juga percuma, jelas2 ngak ada incidal di rumah, trus toko mana ada yg buka jam segini. Dan ternyata, Dia peduli, dan Dia menyembuhkan. Selama di KL pun ngak kambuh2 lagi. Allah kita baik!

Sharing yg singkat/ simple/ umum/ biasa….mungkin untuk beberapa orang berkata…ah kebetulan…tapi kembali menyadarkan aku, Ini lho Allah kita,Allah yg kita nanti2kan kedatanganNya dalam masa adven ini, Dia Allah yg peduli akan kita, Allah yang mengerti kita, kita bisa berharap sepenuhnya kepadaNya.

Tuhan Memberkati
~fenni~

Banyak perkara yang tak dapat kumengerti
Mengapakah harus terjadi di dalam kehidupan ini
Satu perkara yang kusimpan dalam hati
Tiada sesuatu kan terjadi tanpa Allah peduli

Allah mengerti Allah peduli
Segala persoalan yang kita hadapi

Tak akan pernah dibiarkannya
Ku bergumul sendiri tanpa Allah peduli


kembali ke awal




HAPPY NEW YEAR SAHABAT-SAHABATKU

Singapore, 31 Desember 2002, pukul 8:57 pagi.
Tak terasa tahun 2002 hampir aku habiskan. Masih ku ingat pada akhir tahun lalu dirumah temanku, kami berkumpul bersama bernyanyi, berdoa merayakan malam tahun baru. Masih kuingat samar-samar satu persatu kami kumandangkan petisi dan harapan untuk tahun mendatang, tahun 2002 ini. Dan sekarang tahun 2002 hampir berakhir.

Tak terasa begitu banyak hal baru yang telah aku lalui, begitu banyak cerita yang aku lewati bersama teman-temanku semua. Ya, bersama teman-temanku. Keluargaku dan orang yang aku kasih tidak dapat bersamaku, mereka ada nun jauh di sana di Indonesia. Tak jarang kesendirianku di singapura ini membuat aku merasa sepi.

Untung Tuhan tempatkan aku ditengah-tengah teman-temanku ini.

Teman-teman yang berjalan bersamaku saat aku jatuh, dan bersama-samaku saat aku gembira. Teman yang mungkin kadang menyebalkan atau bahkan kadang sangat menggembirakan. Semuanya Tuhan tempatkan disekelilingku. Ada yang dari Jakarta, dari Samarinda, dari Ujung Pandang, Surabaya, Bangka, Palembang, Bandung dan lain-lainnya.

Masih kuingat saat aku jatuh dan merasa tidak layak untuk melayani, mereka menguatkanku. Masih kuingat saat aku cemas akan kehilangan pekerjaanku, dan mereka ada di sana menemaniku. Masih kuingat saat aku letih dan sakit, mereka ada disana berdoa untukku. Masih, masih dan masih kuingat semuanya.

"Aku akan menyertaimu sampai akhir jaman", kata Yesus.

Mungkin ini salah satu jalan yang Ia tunjukkan kepadaku bahwa Ia tetap selalu menemani aku sampai akhir jaman. Walau aku tidak dapat melihat Ia secara nyata, tapi Ia tempatkan malaikat-malaikatnya di sekelilingku agar aku dapat melihat Dia dalam kehidupanku yang nyata ini.

Tapi, tak jarang juga aku kurang menghargai sosok Yesus yang tercermin dalam sahabat-sahabatku ini. Seringkali aku merasa kesal dengan mereka dengan segala alasan yang membuat aku layak untuk merasa kesal. Jam karet-lah or omongannya-lah ataupun sikapnya, atau ini atau itu. Alasan-alasan yang aku buat karena aku tidak dapat menerima keberadaan diri mereka apa adanya.

Berapa kalikah aku harus mengampuni saudara-saudaraku, tanya Petrus. Tujuh puluh kali Tujuh kali, kata Yesus. Tujuh yang berarti sempurna menunjukkan bahwa aku harus mengampuni diriku dan siapapun secara sempurna seperti Yesus telah mengampuni aku.

Satu hal lagi yang Tuhan ajarkan padaku melalui sahabat-sahabatku ini. Tak ada kata yang dapat aku ungkapan selain syukur dan terima kasih kepada Tuhan dan juga kepada sahabat-sahabatku ini.

Terima kasih atas WAKTU yang kalian bri.
Terima kasih atas KASIH yang kalian bri.
Terima kasih atas PENGAMPUNAN yang kalian bri.
Terima kasih atas PENGHARAPAN yang kalian bagi.

Selamat menyambut Tahun Baru 2003 dan semoga kita selalu bersatu di dalam nama Tuhan kita Yesus Kristus.

Tuhan memberkati,
Kwang


kembali ke awal



APAKAH AKU MENGHAKIMI?

Singapore, 10 April 2003
Mengukur Vs Menghakimi

"Ukuran yang kamu pakai untuk mengukur akan diukurkan kepadamu." (Mat 7:2b)

Firman itu, muncul begitu seringnya dalam pikiranku selama beberapa bulan ini, membuat aku mau tak mau berhenti sejenak untuk memikirkan lebih jauh, apa yang Tuhan kehendaki dengan mengingatkan aku terus-menerus tentang hal itu? Ukuran apa? Aku balik bertanya, apakah aku memang begitu sering mengukur sesuatu?

Ya Allahku, hari demi hari, mata-Mu mengawasi aku. Engkau mengetahui sampai kedalaman hatiku. Dengan lemah-lembut Engkau memberitahukan kepadaku jalan-Mu. Engkau menunjukkan kekuranganku kepadaku. Engkau mendidikku dengan kasih.

Seperti biasa, aku sering berkomentar dalam hatiku, mengagumi seorang yang kulihat cantik sekali. Dan pada saat itu, sering aku teringat akan Tuhan yang telah menciptakan makhluk yang begitu indah, menurut penilaianku. Namun di lain waktu, secara tak langsung aku menghujat Tuhan dengan mencibir melihat ciptaan-Nya yang lain, yang kuanggap kurang indah.

Aku merasa bahwa komentar-komentar itu, yang kadangkala tercetuskan dalam percakapan dengan teman-teman, sah-sah saja. Tokh aku jujur mengatakan opini-ku. Dan tokh tidak menyakiti siapa-siapa sebab orang yang bersangkutan tidak mendengarnya, bahkan tidak kenal. Namun beberapa bulan ini, aku sering diterpa rasa bersalah bila berkomentar, misalnya bahwa perempuan yang barusan lewat di depanku lebih cantik daripada yang di belakangnya; atau bila mengomentari orang yang kukenal, misalnya bahwa Si A lebih rajin daripada si B, dan seterusnya. Aku merasa bahwa tidak seharusnya aku memberikan penilaian seperti itu.

Dan aku pun diingatkan dengan ayat di atas. Ayat tersebut membuatku bertanya, apa yang akan terjadi pada diriku, bila Tuhan mengukur siapa yang boleh masuk Surga berdasarkan urutan/level kecantikan, kepintaran, kerajinan, kebaikan, dan seterusnya ukuran-ukuran yang sering aku gunakan?

Dan kulihat bagaimana Tuhan mengkaitkan dengan erat perkara mengukur ini dengan perkara menghakimi, dalam Matius 7:1-2: "Jangan kamu menghakimi, supaya kamu tidak dihakimi. Karena dengan penghakiman yang kamu pakai untuk menghakimi, kamu akan dihakimi dan ukuran yang kamu pakai untuk mengukur akan diukurkan kepadamu."

Aku terlalu sering berpikir bahwa perkara menghakimi lebih berat daripada perkara mengukur. Karena menghakimi dalam pengertianku lebih dekat dengan menuduh atau bahkan memfitnah. Atau bentuk "lebih ringan"-nya, berprasangka buruk terhadap seseorang. Tapi melihat bagaimana menghakimi disandingkan oleh Yesus dalam satu kalimat dengan mengukur, aku jadi merasa bahwa perkara mengukur tidak seringan yang kupikirkan. Mengukur sejajar dengan menghakimi. Jadi kalau aku mengukur seseorang, mungkin berarti aku menghakimi. Praktisnya, bila aku mengatakan bahwa si A tidak secantik si B, berarti aku menghakimi (paling tidak aku telah menghakimi si A; karena terhadap dia aku menempatkan ukuran tentang yang bagaimana yang cantik menurut penilaianku - bukan menurut penilaian Tuhan - sehingga aku berkesimpulan bahwa si A kurang cantik).

Aku teringat akan salah seorang sepupuku, yang - menurut ukuran dunia - tidak cantik. Sejak kecil, ia memperoleh banyak penghinaan karena penampilan fisiknya. Aku membayangkan bagaimana perasaannya diperlakukan demikian? Ah, bukankah perkara mengukur itu bisa menjadi suatu ketidakadilan dan bahkan kekejaman? Serem, deh kalau melihat Firman Tuhan tentang hal ini: "Aku akan membuat keadilan menjadi tali pengukur." (Yesaya 28:17)

Dan, rasanya aku tidak pernah memikirkan bagaimana perasaan Tuhan bila aku berkomentar bahwa ciptaan-Nya, buatan tangan-Nya, kurang indah dipandang mata, karakternya tidak berkualitas tinggi (EI-nya rendah?), tidak memenuhi ISO? Sementara kalau ada yang menghina hasil karyaku, aku akan menjadi sedih dan terhina. "Tetapi, jikalau kamu memandang muka, kamu berbuat dosa, dan oleh hukum itu menjadi nyata bahwa kamu melakukan pelanggaran." (Yakobus 2:9)

Jadi, kurasa akan lebih baik bila aku mencoba menerapkan apa yang dikatakan Rasul Paulus kepada umat di Filipi: "...semua yang benar, semua yang mulia, semua yang adil, semua yang suci, semua yang manis, semua yang sedap didengar, semua yang disebut kebajikan dan patut dipuji, pikirkanlah semuanya itu." (Filipi 4:8)


Opini Vs Menghakimi

Suatu hari, entah siapa yang pertama menggunakan, Menteri Kesehatan Singapore atau wartawan, tercetus bahwa mereka yang terkena Sars, terbagi menjadi Infector dan Super-Infector. Yang digolongkan sebagai Super-Infector pertama di Singapore adalah seorang pramugari yang kita ketahui bernama Esther. Lalu beberapa hari kemudian, seorang wanita, memprotes penggunaan 'label' Super-Infector tersebut terhadap Esther; ia menyatakan simpatinya terhadap Esther, yang sebenarnya adalah korban, tapi dengan 'label' tersebut seolah-olah adalah penyebab.

Nah, membaca surat wanita tersebut, aku beropini (namun cuma dalam pikiran), bahwa wanita tersebut sungguh payah, tidak bisa membedakan antara istilah yang dipakai bagi kepentingan medis dan yang memojokkan seseorang. Dalam opiniku, waktu itu, Menteri Kesehatan maupun jurnalis tidak bersalah karena mereka menggunakan istilah tersebut dalam rangka menjelaskan bahwa ada yang dapat menularkan kuman dalam jumlah besar dan ada yang menularkan hanya dalam jumlah kecil. Kebetulan salah satu kasus yang menularkan dalam jumlah besar adalah Esther.

Lihatlah, bagaimana aku menghakimi wanita itu dengan opiniku yang mengatakan bahwa wanita itu sungguh "payah" karena tidak bisa membedakan dua kepentingan (medis vs psikologi). Padahal, wanita ini melakukannya didorong oleh kebaikan hatinya yang bersimpati pada Esther, yang mungkin akan terluka karena seolah-olah ia dipersalahkan sebagai penyebab begitu banyak orang jatuh sakit dan bahkan meninggal dunia.

Para perawat dari Tan Tock Seng Hospital mengeluh karena supir bus dan taxi tidak bersedia mengangkut mereka pulang. Lalu tercetuslah banyak sekali opini bahwa para supir bus dan taxi tersebut sungguh memalukan dan tidak punya kasih karena menolak mengangkut para perawat yang telah mengorbankan dirinya berperang di garis terdepan untuk memerangi wabah Sars.

Mmh... who knows, mungkin supir bus dan taxi tersebut justru memikirkan orang banyak yang sedang dan akan menggunakan bus atau taxi itu saat itu dan setelahnya? Atau katakanlah mereka memikirkan, dengan skala lebih sempit, bagaimana bila mereka tertular sehingga mereka menularkannya pada bayinya, misalnya?

Hmm... aku jadi merasa bahwa begitu tipis jarak antara beropini dengan menghakimi. Mungkin yang menjarakinya adalah motivasi kasih di baliknya. Aku merasa masih harus banyak belajar, khususnya untuk berpikir positif tentang orang lain; belajar berfikir bahwa seseorang mengatakan sesuatu karena dia mengasihi, karena dia peduli. Tokh hanya orang itu yang paling tahu apa maksudnya.

"Yang seorang menganggap hari tertentu lebih penting daripada hari yang lain, tetapi yang lain menganggap semua hari sama saja. Hendaklah setiap orang benar-benar yakin dalam hatinya sendiri." (Roma 14:5)

"Terimalah orang yang lemah imannya tanpa mempercakapkan pendapatnya." (Roma 14:1)

"Siapa yang makan, ia melakukannya untuk Tuhan, sebab ia mengucap syukur kepada Allah. Dan siapa yang tidak makan, ia melakukannya untuk Tuhan, dan dia juga mengucap syukur kepada Allah. Sebab tidak ada seorangpun diantara kita yang hidup untuk dirinya sendiri, dan tidak ada seorang pun yang mati untuk dirinya sendiri." (Roma 14:6-7)

"Demikianlah setiap orang diantara kita akan memberi pertanggungjawaban tentang dirinya sendiri kepada Allah." (Roma 14:12)

"Karena itu janganlah kita saling menghakimi lagi! Tetapi lebih baik kamu menganut pandangan ini: Jangan kita membuat saudara seiman kita jatuh atau tersandung!" (Roma 14:13)

Kedua topik di atas, membuatku teringat akan sebuah buku yang kubaca beberapa tahun yang lalu. Dalam buku itu, si penulis mendorong para pembacanya untuk memperlakukan setiap kata yang akan keluar dari mulutnya sebagai kado/hadiah buat orang yang mendengarnya. Dan seperti layaknya kado, tentu saja isinya indah, menarik, dan berguna; kita harapkan orang yang menerima kado tersebut akan senang menerimanya, dan dibungkus dengan rapi, dengan kertas kado yang indah, kadangkala diikat dengan pita berwarna perak atau emas. Si penulis mengajak semua orang untuk menggunakan perkataan dengan bijaksana. Jangan mengeluarkan perkataan yang sifatnya tidak membangun. Jadi setiap kali kita akan mengucapkan sesuatu, pikirkanlah, apakah perkataan itu akan membangun? Bila tidak bersifat membangun, jangan diucapkan. Apalagi tentunya bila dapat menyinggung perasaan atau bahkan melukai seseorang. Seperti diakui penulis, tidak mudah untuk selalu menggunakan perkataan yang baik. Perlu latihan terus-menerus, perlu dijadikan kebiasaan sehari-hari.

Aku merasa inilah waktunya bagiku untuk benar-benar memulai kebiasaan yang baik, dan menghindari kebiasaan yang buruk. Well, perhaps it's gonna be a long journey for me... Semoga Tuhan menolongku.

"Janganlah ada perkataan kotor keluar dari mulutmu, tetapi pakailah perkataan yang baik untuk membangun, dimana perlu, supaya mereka yang mendengarnya, beroleh anugerah." (Efesus 4:29)

"Baiklah tiap-tiap orang menguji pekerjaannya sendiri; maka ia boleh bermegah melihat keadaan sendiri dan bukan melihat keadaan orang lain. Sebab tiap-tiap orang akan memikul tanggungannya sendiri." (Gal 6:4-5)

kembali ke awal



MAU JADI LILIN??

Singapore, 12 Juni 2003
Minggu-minggu terakhir, begitu sering hati dan pikiran ini bertanya2. Buat apa aku melayaniMu Tuhan, kalau bukan damai yang aku dapatkan, tapi malah dipusingin, jadi repot, capek, sudah begitu sumpek rasanya. Tuhan tentu sedih liat anakNya kaya begini. Tapi Tuhan kita bijaksana, Dia setia.

Sampai pada hari Rabu minggu lalu, aku pasrah dalam doaku, aku ngak tau mau ngapain, bosan rasanya meminta2, mau hening pun susah, aku hanya berusaha memuji dan menyembah Dia, dengan lagu dalam album Frangky Sihombing yang baru, "Biarkanlah kumenyembah, walau tak dengan puisi yang indah. Biarkanlah kumenyembah, memberikan hati ini kuberserah. Dengan penuh kasih sayang, biarkan Tuhan aku menyembah." Dan setelah itu aku berusaha diam, dan saat itu Tuhan memberikan penghiburan dan kekuatan melalui firman2Nya.

Ternyata penghiburan dan kekuatan yang Tuhan berikan saat itu, kurang cukup untuk membuat aku yg bebal ini mengerti, sampai pada hari Jumatnya, walaupun dengan hati setengah2, Puji Tuhan aku boleh datang ke Triduum Holy Spirit hari ke-2. Sekali lagi aku boleh merasakan kehadiranNya dalam PW dan Misa. Dan homili Father Terence Pereira menjawab pertanyaanku.

Father Terence mengajak untuk menempatkan diri kita sebagai sebuah lilin putih. Pada awalnya sumbunya putih kan? Tetapi sebuah lilin tidak berguna kalau tidak dinyalakan. Dan lihatnya, apa yg terjadi setelah lilin itu dinyalakan? Memberikan terang. Selain itu? Tentu saja sumbunya menjadi hitam. Dan lama kelamaan lilin itu akan meleleh dan habis.

Yah, ternyata tidak bisa menghindar. Kita harus menjadi hitam/ kotor agar bisa menjadi terang. Berarti harus rela untuk dipusingin, disusahin, hehe….Yah, lihat aja contohnya Yesus, dan para Rasul, bagaimana mereka dihina, ditolak, disiksa. Kita mah kagak ada apa2nya.

Trus, father mengajak kita untuk melihat pada sebuah lilin di meja altar, yang tidak bisa habis2. Apakah itu bukan lilin? Tentu saja itu lilin, Cuma luarnya aja ngak keliatan kaya lilin (makanya jangan liat luar, liat ke dalamnya) Nah, kita harus menjadi lilin itu! Gimana caranya? Bersandar pada kekuatanNYA. Kalau kita pake kekuatan kita sendiri, yah meleleh deh sampe habis. Tetapi kalau kita bersandar pada kekuatanNya, kita akan terus bercahaya dan tidak akan pernah habis.

Akhirnya aku mengerti, kalau aku mau menjadi terang, aku tidak bisa menghindar untuk menjadi hitam/ kotor, tetapi Tuhan tidak akan membiarkanku meleleh habis, asal aku bersandar pada kekuatanNya. Ya, Tuhan tidak menjanjikan jalan yg selalu mulus, tanpa rintangan, tanpa pencobaan. Tapi Tuhan menjanjikan penghiburan dan kekuatan kalau semua itu datang menghadang kita. Thanks God! Apalagi minggu kemarin abis Pantecost, wah Roh Kudus Nya (Sang penghibur) dicurahkan lagi kepada kita…..Puji Tuhan….

Jadi teringat masa2 SD, kan lagi musim2nya tuh dimintain ngisi buku album kenangan. Asal sampai pada kata2 mutiara, aku sering kali mengisi seperti ini: " Jadilah seperti lilin yang menyala dan rela habis untuk menerangi dunia ini." Hahaha….nulis gampang, jalaninnya susah bo!! Selama ini NATO donk.

Kita berusaha sama2 yuk, untuk menjadi lilin (yang ngak abis2 lho)!

"Demikian hendaknya terangmu bercahaya di depan orang, supaya mereka melihat perbuatanmu dan memuliakan BapaMu yang disorga."-Mat 5:16

Tuhan memberkati,
fEnNi

kembali ke awal



HERE I AM LORD

Singapore, 01 September 2003

I was baptized at the Church of Holy Cross, Clementi, about three and a half years ago. It was one of the happiest moment in my life that I become a Catholic because I have been put a lot of thought about it for so many years and finally I made my decision.

After baptism, I always think that by being a Catholic is just good enough by attending Sunday mass and go for confession twice a year, and pray daily. Other church activities were not appealing to me. There are a lot excuses I made in order to justify myself. Firstly, just before baptism, I moved to Tiong Bahru area, I knew no one at church of St Bernadette. But at the same time, going to the church of Holy Cross by bus may take half an hour or even more. Hence if I joined activities at night, it would be difficult to wake up on the next day. Secondly at work, I have been moved to the project where I had to traveled overseas on a longer terms so I won't be able to commit for activities planned.

After eight months of travelling and enjoying working in a small team with lots of fun as well as pressure to complete the project within the deadline, my supervisor told me that I had to moved to back to Singapore. She said this was only a temporary position and I will have another opportunity to move on to other project when the right time comes. At that moment I felt upset as if I performed badly during the project which could affect my performance/increment. However, I didn't blame anyone for it. Jokingly, I told my colleague that it is a good to be back home so I have more time to play piano.

While I kept figuring out the answer 'Why do you want me to go backto Singapore?' for few days, I was struck by the song 'Here I am Lord'. It was sung at the mass that I attended in Auckland on my last business trip. Listening to the lyrics carefully, it seems that God's soft voice says to me, 'I have heard my people cry, … , I will make their darkness bright, … Whom shall I send?'. My heart was touched by it and I responded slowly it, 'Here I am Lord, …, I will go Lord, if You lead me'. After that moment, I stopped questioning, and I put my trust that God had something for me even though I didn't know what it would be. Perhaps He has something for me to do for Him there.

Once I was back in Singapore, I had more time to spend outside office as the work is less demanding than the project lifestyle. I started joining the Indonesian Catholic community where they have their monthly prayer meeting at the church of Holy Spirit. Apart from monthly prayer meeting, they also have weekly cell group meeting where typically they do praise and worship as well as they share their life experiences followed by fellowship. It was my first experience to join this kind of activity. I was very shy to share my life experiences and I must admit that I put God as a lower priority during those days. I only think God only Sundays, Monday to Saturday is for other business. I remembered for the first time when my friends prayed over me, he said that 'please open your heart to God'.

Since then, I enjoyed being part of that community. My eyes and heart are slowly opened wider and wider to God, through the talks, praise & worship, and sharing within the community. I have realized that I am too complacent with myself by just being a Sundays Catholic. How can my faith grow if I never try to love God who first loved us and gave us Jesus as our Saviour and friend? How can I love Jesus but I don't love my neighbour and keep it only to myself?

A few months later, I also joined the Faith Formation at church of St Bernadette (Now it becomes St Bernadette Community Experience). This brings me to another experience through joining a larger and more diverse community (different age, race and background). And, I'm blessed to be able to grow in faith within these communities. Both communities complement each other.

Through many talks that I attended, I came to understand that the Catholic knowledge that I learnt from RCIA is just a tiny information. There are more things than RCIA that can be learned, to just name a few: life of the saints, apologetics and canon law. As a start, I tried to make a habit spending time to read bible daily. After a while I get used to it, and I feel missed something if I don't read it. I found a lot of the topics are interesting, touching and truthful. I only wish that I could have more time to read and explore more.

Some sharings among the community members have really inspired me to live as a Christian. It can be about attending daily mass, the scriptures or even many small things that God helps us in our daily life. My prayer's life has changed. In the past, I always asking God for so many things that I want but now I also pray for others especially those who needs to be prayed, be it our friends in the community, our activities or for the peace of the world. Sometimes, I doubt myself when I pray for others whether God will answer it or not. But now doubts are cleared with their sharing of how they went through it. God really listens to our prayers!

For many activities that both communities organized, I feel a lot of joys to serve others. Even though I am tired but I am enlightened to be the lights to those people who live in darkness/sadness. From our experiences, we were reminded many times that all these things that we do is not for our own pride but it is for God's greater glory. He must grow greater, I must grow less as John the Baptist said in John 3:30. We always give thanks and give praise to God for all activities that we planned and for His protection and caring for all of us. As if we are the ten victims of skin-disease (Luke 17:11-19), we do not want to be the nine victims who has forgotten and had taken for granted what God had given to us.

I didn't realize that one and half years passed by so quickly. At work, I found working was smooth sailing. It was a surprise that I have been given a small token as one of the best employees of that year. Subsequently, the year after, I have been reassigned to another project where I stayed in Houston, US, for nine months. I'm really thanking God for this excellent opportunity that I have been dreamt a few years ago.

Now when I'm looking back those years, I'm glad that I offered all my problems, my fears and my life to God. I know He is my good shepherd. As Psalm 23 says, He restores my soul, He guides me in the paths of righteousness for His name's sake. I fear no evil, for Thou art with me. Surely goodness and lovingkindness will follow me all the days of my life, and I will dwell in the house of the Lord forever.

kembali ke awal



O LORD, IS IT ME?

Singapore, 26 Oktober 2003

“My grace is enough for you, for in human weakness, My power reaches perfection” (2Cor 12:9).

Kata2 indah tersebut terpampang di atas sebuah kain di depan gereja. Sore itu, Minggu, 26 October 2003, hari yang bagiku dan mungkin bagi beberapa orang sama dengan hari2 minggu sebelumnya, tetapi hari yang sungguh berarti bagi Deacon Peter Zhang Si Qian. Karena hari itulah hari yang dijadikan Tuhan khusus buat dia, dimana dia akan ditahbiskan menjadi imam.

Holy Spirit Church, dimana Deacon Peter ditempatkan selama melayani sebagai deacon, menjadi gereja dimana dia menerima Sakramen Imamatnya. Dan Archbishop of Singapore, Nicholas Chia, yang akan memberikan tahbisan tersebut. Misa dimulai pada pukul 17.00, tetapi setengah jam sebelumnya dimulai dengan doa rosario, yang taunya diminta oleh Deacon Peter sendiri, karena dia merasakan bagaimana Mother Mary selalu menyertai dan membantu dia selama persiapannya menjadi imam dan tentu saja agar Mother Mary selalu menyertai dia. Banyak juga yang datang untuk mengikuti doa rosario, ku lihat tempat2 duduk di bagian bawah sudah hampir penuh, dan aku pun mengambil tempat duduk di bagian atas yang sudah setengah penuh. Jarang sekali aku melihat gereja Holy Spirit begitu penuh. Tentu saja umat2 begitu antusias untuk men-support hamba Tuhan yang telah menanggapi panggilanNya, apalagi misa pentahbisan imam jarang sekali di Singapore.

Pukul 17.00 tepat, misa dimulai, kulihat panjang sekali iring-iringannya, mulai dari altar boys, priests dari seluruh Catholic church di Singapore yang memakai jubah putih dan stola-nya, priests yang akan naik dialtar mendampingi uskup dengan jubah misa mereka, dan akhirnya Archbishop Nicholas Chia. Misa berlangsung seperti biasa, kecuali ada ordination rite sebagai pengganti homili. Tetapi suasananya begitu hikmat dan choir-nya pun bernyanyi dengan indahnya. Cukup panjang juga acara ordinationnya. Mulai dari election of the candidate, yang kebetulan Deacon Peter sendirian. Kemudian Archbishop membacakan tugas2 seorang imam, kemudian pengucapan janji, dilanjutkan dengan litany of supplication dimana Deacon Peter terlungkup di bawah altar selama litany dinyanyikan. Setelah itu archbishop dan priests lainnya secara bergantian menumpangkan tangan ke Deacon Peter. Setelah pembacaan doa tahbisan, Deacon Peter dipakaikan jubah dan stola. Indah sekali rasanya, tak terasa mataku sudah berkaca-kaca karena turut bahagia dan terharu, dan tidak dapat membayangkan bagaimana rasanya menjadi mempelai Kristus. Setelah anointing of hands, Archbishop men-welcome Father Peter Zhang, dan tepuk-tangan umat pun memenuhi ruangan. Umat berdiri menyambut Father Peter sambil terus bertepuk-tangan. Pasti rasa bangga, bahagia , syukur berkecamuk dalam hati umat saat menyambut hambaNya ini, hingga tak ingin rasanya berhenti bertepuk tangan. Setelah handing on of bread and wine, archbishop dan priests bergantian memberikan fraternal kiss (hug). Dan tak lupa, Archbishop men-welcome Father Peter dalam keluarga barunya, yaitu Congregatio Discipulorum Domini/ Congregation of the disciples of the Lord (CDD). Dan romo2 CDD pun berdiri ditempat duduk mereka untuk menyambut saudara baru mereka.

Rasa haru dan bahagia masih berkecamuk dalam hatiku, dan masih terbayang kata2 indah yang terpampang di depan gereja maupun di buku2 acara, “Cukuplah kasih karunia-Ku bagimu, sebab justru dalam kelemahanlah kuasa-Ku menjadi sempurna.”

Kuingat, kata2 itulah yang memberikan banyak kekuatan disaat aku tidak berdaya, disaat2 aku menghadapi tugas2 dan examku di University, saat2 aku menghadapi interview kerjaan, dan saat2 dimana 2 tahun yang lalu aku terpilih menjadi pelayan wilayah komunitasku- Komunitas TriTunggal MahaKudus (KTM) di Singapore. Sering aku bertanya, bisakah aku menghadapi itu semua dengan segala kekurangan, kelemahan, ketidaktahuanku. Tetapi bukankah Rasul Paulus sendiri berkata “Aku terlebih suka bermegah atas kelemahanku, supaya kuasa Kristus menaungi aku”. Justru disaat2 kita lemah, kita tidak meninggikan diri, dan saat itulah kita bisa berpasrah penuh kepada Tuhan, menyerahkan diri kita sepenuhnya dan membiarkan kehendakNya bekerja atas diri kita.

Di lembaran terakhir buku acara tertulis suatu conversation indah (yang tertera di bawah), yang mungkin sudah sering menjadi pergumulan dalam pelayanan kita, tetapi apakah kita sudah mendengarkan dan menjawab panggilanNya? Bukan saja panggilan untuk menjadi imam, tetapi mungkin panggilan untuk melayani umatnya dalam gereja, dalam komunitas, dalam persekutuan doa, dalam keluarga, bahkan dalam hal2 kecil. Terlintas ucapan Frater Frans kemarin malam, Tuhan tidak melihat hebatnya yang kita lakukan, tetapi Tuhan melihat hati yang melayani dengan penuh cinta. Walaupun kita terlihat hebat di depan, mungkin sebagai pembicara, sebagai penyanyi, tetapi kalau tidak dilakukan dengan kasih, tidak ada artinya. Jauh lebih berarti seorang yang hanya mengatur bangku, tetapi dia melakukannya dengan penuh kasih.

“O Lord, is it me? I am only an ordinary man like others. Truly I don’t know how to speak and what to do…”

“Be not afraid. My grave is enough for you. For in human weakness, my power reaches perfection.”

In my freedom, I now say “YES” to His call.

Father Peter Zhang telah menjawab “YES” to God.

Bagaimana dengan kita?

Congratulation Father Peter Zhang!

God bless you!

kembali ke awal



BERSYUKURLAH !!

Singapore, 13 November 2003

Mungkin gampang buat kita yang serba cukup dan tidak dirundung masalah untuk bersyukur. Tetapi bagaimana dengan mereka yang miskin dan berkekurangan? Bagaimana dengan mereka yang sakit? Yang keluarganya bermasalah, dsb?

Bahkan kita yang serba cukup dan tidak bermasalah saja kadang lupa untuk bersyukur. Bahkan kita yang telah mendapatkan begitu banyak berkat dan kesembuhan sudah tidak ingat lagi kepada si pemberi berkat itu. Bacaan hari ini (Luk 17: 11-19) menceritakan tentang kesepuluh orang kusta yg mendapat kesembuhan, tetapi hanya satu yang kembali mengucap syukur kepadaNya. Begitu cepat dan serunya kita berteriak-teriak minta tolong. Dan begitu cepat pula kita melupakan pertolonganNya. Lagipula, apakah kita berhak untuk berseru kepada Tuhan? Dalam bacaan kemarin (Luk 17: 7-10) dikatakan bahwa kita hanyalah hamba-hamba yang tidak berguna, yang hanya melakukan apa yang harus kita lakukan. Tetapi sebaliknya kadang kita malah menjadikan Tuhan sebagai hamba, selalu minta Tuhan untuk memenuhi segala kemauan kita, dan saat Tuhan tidak memenuhinya, kita menjadi marah dan mengabaikanNya.

Beruntunglah kita yang mempunyai Tuhan yang penuh cinta, yang dengan kasihNya mengangkat kedudukan kita menjadi sahabat2Nya. Sehingga kita bisa menceritakan segala permasalahan kita, kita bisa meminta pertolongan daripadaNya. Maka sudah sepantasnyalah sebagai rasa syukur kita, kita tetap menempatkan diri sebagai seorang hamba dan bukan tuan bagi Tuhan.

Kemarin malam, aku mengunjungi seorang teman yang sakit di ICU. Kebanyakan waktu, aku habiskan dengan keluarganya, karena teman yang sakit itu masih tidak sadar. Sewaktu mau pulang, seperti biasa sang ibu pasti bersedih karena harus meninggalkan anaknya yang sakit sendirian. Dia dan kedua anaknya yang lain mesti pulang beristirahat. Rupanya si ibu masih khawatir dengan perkataan dokter tadi pagi kalau mungkin ada yang tidak benar dengan otak anaknya, karena sudah 2 hari lebih belum sadar juga. Ditambah lagi beban keuangan yang puluhan ribu dollar itu yang mesti mereka bayar, dan tidak tau kapan bisa sembuh. Dalam kesedihan ibu tersebut, kudengar anak perempuan yang menemaninya berbisik: “Mami jangan sedih, kita harus bersyukur Mi, apa ngak cukup apa yang Tuhan berikan hari ini?” Pada hari itu, dokter mengatakan bahwa hasil scan sang adik menunjukkan bahwa paru2nya sudah bersih. Pendarahan juga sudah stop. Hari ini kedipan mata sang adik juga sudah sedikit lebih cepat dari kemarin (berarti sudah lebih sadar dari kemarin).

Yah! Dalam kecapeannya, dalam kebosanannya (kanan-kiri tembok katanya), dalam home-sicknya selama menemani adiknya yang berobat selama 1.5 bulan, dia masih bisa bersyukur, walaupun cuma sedikit kesembuhan yang Tuhan berikan kepada adiknya. Sang ibu pun yang tadinya sudah tidak kuat menanggung segala kesedihan atas penderitaan anaknya, tidak pernah marah kepada Tuhan. Dia tetap berharap dan bergantung penuh kepada Tuhan.

Beberapa kali aku mengunjungi keluarga ini, dan aku bisa melihat mereka begitu kompak, begitu akrab. Dengan sakitnya sang anak/ sang adik, keluarga mereka diberi kesempatan untuk berdoa bersama setiap pagi siang malam, bahkan jam 3 pagi mereka rela bangun untuk berdoa bersama. Dan pagi2 sudah mesti bangun untuk bersiap ikut misa pagi. Ternyata doa dan tubuh Kristus sendiri yang memberikan mereka kekuatan setiap harinya. Sungguh mereka bukan lagi menjadi beban buat aku (karena mesti kunjungan), tetapi justru aku diberi kesempatan oleh Tuhan untuk belajar bersyukur dan berserah kepadaNya.

Datanglah kebaitNya dengan hati bersyukur
Ke dalam pelataranNya dengan hati bersuka
Rasakan dan lihatlah betapa baiknya Tuhan
Bagi yang berlindung padaNya akan bersorak-sorai
Akan bersorak-sorai

Bersyukurlah kepada Tuhan sebab Dia baik
Bahwasanya ‘tuk selamanya kasih setiaNya
Bersyukurlah kepada Tuhan sebab Dia baik
Bahwasanya ‘tuk selamanya kasih setiaNya
Bersyukurlah!!!!!

Note: Beberapa kutipan diambil dari Renungan harian “Ziarah Batin 2003”

kembali ke awal



@ KKIHS Webmaster 2002