SEGELAS POP MIE
Aku menikmati segelas pop mie hangat di tengah guncangan kapal yang menyeberangi selat Bali.
Lumayan untuk mengisi dan menghangatkan perut. Sejak siang perutku belum terisi makanan.
Siang tadi aku tidak sempat makan, sebab harus menyelesaikan beberapa hal. Mau makan
malam tidak jadi, sebab kupikir di dalam bis malam yang membawaku ke Denpasar nanti
pasti dapat makan malam. Jadi buat apa makan di rumah? Ternyata makanan yang disajikan
oleh rumah makan, dimana bis yang kutumpangi berhenti, terdiri dari ayam goreng dan sambal.
Melihatnya pun aku langsung menjadi kenyang. Aku memang tidak bisa makan makanan pedas.
Maka aku hanya minum teh hangat saja. Bis melanjutkan perjalanan menuju Denpasar.
Dalam kapal penyeberangan perutku sudah tidak bisa diajak kompromi untuk bersabar sampai
Denpasar. Maka aku beli sebuah pop mie dan teh hangat. Belum selesai aku makan, datang
seorang anak lelaki. Usianya sekitar 13 tahun. Penampilannya tidak jauh beda dengan anak-anakku
di rumah singgah. Dia duduk tidak jauh dariku sambil menawarkan jasa semir sepatu pada
orang yang duduk disebelahnya. Orang itu menolak, meski anak itu telah berusaha merayunya.
Dia melihat padaku, tapi tidak menawarkan jasanya, sebab aku memang memakai sandal
jepit. Dia beralih dan menawarkan pada beberapa penumpang lain. Tapi tidak satu pun yang
mau menggunakan jasanya, bahkan ada yang dengan jelas mengusirnya.
Sepintas aku mendengar bahwa dia belum makan sejak siang. Tapi kupikir alasan klasik seperti
teman-teman di Dinoyo juga senantiasa punya alasan. Aku melanjutkan makan mie. Aku sama
seperti penumpang lain yang tidak tergerak untuk memberikan sesuatu atau menggunakan
jasanya. Aku pikir mengapa sudah dini hari seperti ini masih ada anak kluyuran di kapal?
Apa tidak dilarang untuk melakukan hal itu di atas kapal? Tampaknya dia tidak membawa
peralatan yang biasa digunakan anak-anak semir. Dia hanya membawa tas kecil berisi
peralatan semir. Mungkin untuk mengelabui petugas yang akan melarangnya.
Mungkin karena capek, anak itu duduk menonton TV. Aku tidak peduli lagi padanya. Aku pikir
sudah sering aku membantu anak seperti itu. Ini saatnya aku melupakan mereka. Biar ada
orang lain yang memberinya. Aku ingin menikmati rokokku dan sisa teh hangat. Kapal sudah hampir sampai di Gilimanuk. Aku
bergegas turun. Kulihat anak itu berdiri dan berjalan dari kursi ke kursi mencari sesuatu. Dia sampai di kursi tempatku duduk.
Dia mengambil gelas pop mie yang aku geletakan di bawah kursi. Masih ada sisa kuah di dalamnya.
Lalu dia meminumnya. Aku tercengang! Tapi beberapa orang yang sudah ada di belakangku
ingin segera turun. Aku pun turun dan masuk ke dalam bis.
Terbayang wajah anak itu yang menuangkan sisa-sisa kuah pop mie dalam mulutnya. Mungkin
dia sungguh-sungguh lapar. Mengapa aku tadi diam saja? Aku beralasan bahwa dia tidak
meminta padaku. Tapi dia tadi menatapku. Bukankah itu sebuah permintaan yang tidak
terucapkan? Bukankah sorot matanya tadi sudah mengandung kata-kata mohon pertolongan? Mengapa
aku tidak menawarinya pop mie? Mengapa aku tadi mengadili bahwa perkataanya belum makan
sejak siang hanyalah sebuah kebohongan belaka? Aku memang sering dibohongi oleh teman-teman
di Dinoyo, mereka mengatakan belum makan, lalu aku belikan makanan, tapi ternyata mereka
masih punya uang untuk beli rokok. Mengapa aku tidak berani dibohongi sekali lagi? Terbayang
lagi wajah anak itu. Seandainya aku membeli sebungkus pop mie lagi uangku masih tersisa
banyak. Tapi mengapa tidak ada niatan untuk membelinya? Aku beralasan ingin berhenti
sejenak. Aku ingin tidak peduli sejenak pada anak-anak miskin. Mengapa aku ingin berhenti
sejenak?
Berbagai pertanyaan menusuk hatiku.
Bis berguncang-guncang. Hatiku bergulat! Aku malu melihat diriku sendiri. Aku malu
dengan idealismeku. Mengapa aku mau menolong teman-teman di Dinoyo sedang pada satu teman
ini aku diam saja bahkan tidak peduli? Mengapa aku berpikiran negatif padanya bahwa dia
berbohong soal lapar?Teringat kembali perkataan Yesus bahwa Dia datang kapan saja. Aku hanya
diminta berjaga-jaga. Aku sering mengatakan bahwa aku siap. Ternyata aku tidak siap.
Aku tidak bisa senantiasa berjaga-jaga. Dengan berbagai alasan aku berusaha memaafkan diri
dengan menyodorkan berbagai alasan yang kuanggap tepat untuk membela diri. Tapi wajah anak
itu dengan sorot matanya senantiasa terbayang. Sorot mata itu berbalik mengejekku. Cara
dia menuangkan sisa kuah mie seolah melecehkan idealismeku. Menghancurkan kesombonganku
yang seolah sudah berbuat banyak sehingga membutuhkan istirahat. Dia ingin menunjukan
bahwa aku belum mempunyai kepekaan hati pada orang yang membutuhkan pertolongan.
Aku pejamkan mata. Ingin mengakhiri semua perdebatan dalam hati dan tidur untuk menghabiskan
sisa dini hari. Aku ingin tidur. Ya ternyata aku sudah tidur sejak makan pop mie tadi.
Aku tidur seperti para pelayanan ketika tuannya pergi. Maka aku tidak sadar ketika tuan itu
datang. Dulu aku sering menghina Petrus dan kawan-kawan yang enak tertidur di taman Getsmani
padahal di dekatnya Yesus sedang bergulat dalam kecemasan. Kini aku memahami teguran
Yesus pada Petrus. Betapa sulitnya untuk berjaga barang sejenak saja. Berjaga untuk
menemani Yesus yang sedang dalam penderitaan. Yesus yang sedang menahan lapar. Dia telah
datang padaku dan mengingatkan aku agar menemani Dia, tapi aku hanya terbangun sejenak kemudian
melanjutkan tidurku. Aku baru sadar ketika semua sudah berlalu. Sebuah kesempatan telah
kulepas. Kesempatan untuk melayani Yesus yang datang padaku.
Terbayang kembali tatapan mata anak itu yang tertuju padaku. Aku yakin bahwa dia tidak
menatapku melainkan menatap pop mie yang ada di tanganku. Dia seperti Lazarus yang
menatap orang kaya yang sedang menikmati makanannya. Bukan orang kaya itu yang menjadi
perhatiannya, melainkan makanan yang ada di mejanya. Makanan yang bisa mengurangi
rasa laparnya. Ketika tuan itu selesai makan, maka Lazarus mengambil remah-remah yang jatuh
dari meja tuannya. Anak itu pun mengambil gelas pop mie setelah aku pergi. Sebetulnya
aku bisa merasakan penderitaan anak itu. Aku sudah merasakan kelaparan sebab sejak
siang belum makan, tapi hatiku tenang bahkan aku menolak makanan di rumah makan, sebab
aku yakin bisa membeli makanan yang sesuai dengan seleraku. Aku mempunyai uang di saku
baju. Anak itu kelaparan dan pasti tidak punya uang di sakunya. Dia sudah berusaha
menawarkan jasa untuk membeli makanan, tapi dia gagal. Mengapa aku yang sudah merasakan
kelaparan tidak bisa memahaminya? Apakah uang yang membuat hatiku tidak peka? Aku
tidak ubahnya seperti orang kaya yang buta hati.
Dalam kegelisahan aku ingin agar peristiwa itu terulang kembali, sehingga aku bisa membelikan
dia sebungkus pop mie. Tapi bis terus melaju menembus kegelapan dini hari. Apakah kalau
peristiwa itu terulang, aku bisa memberikan apa yang aku miliki untuknya yang sedang
kelaparan? Aku tidak yakin. Aku masih sering terlelap dan tidak siap ketika Yesus datang.
Maka aku perlu mengubah diri. Aku perlu peka akan penderitaan sesama yang ada disekitarku
bukan hanya disuatu tempat dan suatu waktu, melainkan sepanjang waktu dan dimana saja.
Bukan hanya sebuah kewajiban dan tugas, tapi suatu sikap yang keluar secara spontan dari
dalam batinku. Anak kecil itu membuka mataku bahwa aku masih harus banyak berubah. Aku
masih belum bisa menjadikan pelayanan dan kepedulian sebagai bagian dari hidupku. Sebagai
nafas yang keluar secara otomatis tanpa aku banyak berpikir dan pertimbangkan. Aku tidak
boleh bangga dengan apa yang sudah aku lakukan saat ini. Yesus tidak datang hanya di Dinoyo
tapi Dia datang di tempat Dia suka. Dia datang tanpa peduli apakah aku sedang lapar atau
capek. Dia datang sesuka hatiNya. Inilah ujian imanku.
salam
gani
denpasar 191001
kembali ke awal
KITA TIDAK MISKIN
"Apakah kemiskinan itu, Bu? Anak-anak di taman bilang kita miskin. Benarkah itu,
Bu?" "Tidak, kita tidak miskin, Aiko"
"Apakah kemiskinan itu?" "Miskin berarti tidak mempunyai
sesuatu apapun untuk diberikan kepada orang lain."
"Oh? Tapi kita memerlukan semua barang yang kita punyai, apakah yang dapat kita
berikan?" "Kau ingatkah perempuan pedagang keliling yang ke sini minggu lalu? Kita memberinya sebagian
dari makanan kita kepadanya. Karena ia tidak mendapat tempat menginap kota, ia kembali ke sini dan kita memberinya
tempat tidur." "Kita menjadi bersempit-sempitan"
"Dan kita sering memberikan sebagian dari sayuran kita kepada keluarga Watari, bukan?"
"Ibulah yang memberinya. Hanya saya sendiri yang miskin. Saya tak punya apa-apa
untuk saya berikan kepada orang lain."
"Oh, kau punya. Setiap orang mempunyai sesuatu untuk diberikan kepada orang lain. Pikirkanlah hal itu dan kau akan menemukan
sesuatu." .......
"Bu! Saya mempunyai sesuatu untuk saya berikan. Saya dapat memberikan cerita-cerita saya kepada teman-teman
saya. Saya dapat memberikan kepada mereka cerita-cerita dongeng yang saya dengar dan baca di
sekolah. Juga cerita-cerita Alkitab dari Sekolah Minggu." "Tentu! Kau pintar bercerita.
Bapakmu juga. Setiap orang senang mendengar cerita."
"Saya akan memberikan cerita kepada mereka, sekarang ini juga!"
[ Disadur dari Audrey McKim: Aiko and Her Cousin Kenichi, terjemahan: Kita
Tidak Miskin, YKBK/OMF - sebuah buku cerita ringan yang inspiratif]
Nampaknya yang perlu ditanyakan bukanlah "Apakah saya punya?", karena kita
pasti mempunyai sesuatu. Melainkan "Apakah yang saya punya?" yang bisa diberikan
-waktu, perhatian, cerita, tenaga, makanan, tumpangan, uang, ...Pertanyaannya bukanlah
"Seberapa saya punya?", karena kekayaan sejati lebih ditentukan oleh "Seberapa saya memberi?"
kembali ke awal
SEMANGKUK MIE KUAH
( Sedikit komentar dari saya : Cerita ini mengajarkan kepada saya bahwa tidak
ada yang sia sia jika semua itu dilakukan dalam KASIH. Mungkin kalau kita baca apa yang dilakukan
oleh pemilik rumah makan ini adalah hal yang sederhana. Tapi besar bagi keluarga tersebut
) - NEVER UNDER ESTIMATE THE POWER OF LOVE. As Jesus said,"Love one another as I have Love You"
Pendahuluan :
Ny. Hsu yang tinggal di Kao Hsiung, anak gadisnya pulang dari Amerika pada saat awal bulan Januari, dan membawa sebuah kisah
nyata yang menggugah hati. Kisah yang terjadi pada malam Chu Si (malam menjelang Tahun Baru Imlek), berjumlah sebanyak 50 halaman
lebih. Tokoh dalam cerita ini pada saat menceritakan kisahnya, mengharukan banyak orang Jepang. Cerita ini dinamakan "Semangkuk
Mie Kuah", diterjemahkan oleh Li Kuei Chuen ....
Tanggal 31 bulan Desember lima belas tahun yang lalu, yang juga merupakan malam Chu Si, di sebuah jalan di kota Sapporo, Jepang,
ada sebuah toko mie yang bernama "Pei Hai Thing" (Pei = Utara; Hai = Laut; Thing = Kios, toko). Makan mie pada malam
Chu Si, adalah adat istiadat turun temurun dari orang Jepang, pada hari itu pemasukan toko mie sangatlah baik, tidak terkecuali "Pei Hai Thing", hampir sehari
penuh dengan tamu pengunjung, tetapi setelah jam 22.00 ke atas sudah tidak ada pengunjung yang datang lagi. Pada saat biasanya
jalan yang sangat ramai hingga waktu subuh --- karena pada hari itu semua orang terburu-buru
pulang rumah untuk merayakan Tahun Baru --- sehingga dengan cepat menjadi sunyi dan tenang.
Majikan dari toko mie "Pei Hai Thing" adalah seseorang yang jujur dan polos, istrinya
adalah seorang yang ramah tamah dan melayani orang penuh dengan kehangatan. Saat tamu
terakhir pada malam Chu Si itu telah keluar dari toko mie, dan pada saat sang istri tengah bersiap untuk menutup toko, pintu toko
itu sekali lagi terbuka, seorang wanita membawa dua orang anaknya berjalan masuk, kedua anak
itu kira-kira berusia 6 tahun dan 10 tahun, mereka mengenakan baju olahraga baru yang serupa satu dengan yang lainnya, tetapi
wanita tersebut malah memakai baju luar --- bercorak kotak --- yang telah usang. "Silakan duduk !" Sang majikan mengucapkan
salam, wanita itu berkata dengan takut-takut : "Bolehkah ...... memesan semangkuk mie kuah ?"
Kedua anak di belakangnya saling memandang dengan tidak tenang. "Tentu ...... tentu
boleh, silakan duduk di sini !" Sang istri mengajak mereka ke meja nomor 2 di
paling pinggir, lalu berteriak dengan keras ke arah dapur : "Semangkuk mie kuah
!" Sebenarnya jatah semangkuk untuk satu orang hanyalah satu ikat mie, sang majikan
menambahkan lagi sebanyak setengah ikat, dan menyiapkannya dalam sebuah mangkuk besar
penuh, hal ini tidak diketahui oleh sang istri dan tamunya itu. Ibu dan anak bertiga
mengelilingi semangkuk mie kuah tersebut dan menikmatinya dengan lezat, sambil makan, sambil berbicara dengan suara yang
kecil, "Sangat enak sekali !" Sang kakak berkata : "Ma, kamu juga coba-coba
dong!" Sang adik sambil berkata, dia menyumpit mie untuk menyuapi ibunya.
Tidak lama kemudian mie pun telah habis, setelah membayar 150 yen, ibu dan anak bertiga dengan serempak memuji dan menghaturkan
terima kasih "Sangat lezat sekali, banyak terima kasih !" serta membungkuk memberi
hormat, lalu berjalan meninggalkan toko.
Setiap hari berlalu dengan sibuknya, tak terasa setahun pun berlalu. Dan tiba lagi
pada tanggal 31 Desember, usaha dari "Pei Hai Thing" masih tetap ramai, kesibukan
pada malam Chu Si akhirnya selesai, telah lewat dari jam 22.00, sang istri majikan ketika tengah berjalan ke arah pintu
untuk menutup toko, pintu itu lalu terbuka lagi dengan pelan, yang masuk ke dalam adalah
seorang wanita parobaya sambil membawa dua orang anaknya. Sang istri ketika melihat baju luar bercorak kotak yang telah usang
itu, dengan seketika teringat kembali tamu terakhir pada malam Chu Si tahun lalu. "Bolehkah
...... membuatkan kami ...... semangkuk mie kuah ?" "Tentu, tentu, silakan duduk !" Sang istri mengajak mereka
ke meja nomor 2 yang pernah mereka duduk di tahun lalu, sambil berteriak dengan keras "Semangkuk mie kuah !".
Sang majikan sambil menyahuti, sambil menyalakan api yang baru saja dipadamkan. Istrinya dengan
diam-diam berkata di samping telinga suami : "Ei, masak 3 mangkuk untuk mereka, boleh tidak ?" "Jangan, kalau demikian
mereka bisa merasa tidak enak." Sang suami sambil menjawab, sambil menambahkan setengah ikat mie lagi ke dalam kuah
yang mendidih. Ibu dan anak bertiga mengelilingi semangkuk mie kuah itu sambil makan dan berbicara,
percakapan itu juga terdengar sampai telinga suami istri pemilik toko. "Sangat wangi ...... sangat hebat ...... sangat nikmat
!" "Tahun ini masih bisa menikmati mie dari Pei Hai Thing, sangatlah baik !"
"Alangkah baiknya jika tahun depan masih bisa datang untuk makan di sini."
Setelah selesai makan dan membayar 150 yen, ibu dan anak bertiga lalu berjalan meninggalkan Pei Hai Thing."Terima kasih banyak !
Selamat bertahun baru." Memandang ibu dan anak yang berjalan pergi, suami istri
pemilik toko berulang kali membicarakannya dengan cukup lama. Malam Chu Si pada tahun
ketiga, usaha dari "Pei Hai Thing" tetap berjalan dengan sangat baik, sepasang suami istri saking sibuknya sampai
tidak ada waktu untuk berbicara, tetapi setelah lewat pukul 21.30, kedua orang itu mulai
berperasaan tidak tenang. Jam 22.00 telah tiba, pegawai toko juga telah pulang setelah
menerima "Hung Pao" (Ang Pao), majikan toko dengan tergesa-gesa membalikkan setiap lembar daftar harga yang tergantung
di dinding, daftar kenaikan harga "Mie Kuah 200 yen semangkuk" sejak musim panas tahun ini, ditulis ulang menjadi
150 yen. Di atas meja nomor 2, sang istri pada saat 3 menit yang lalu telah meletakkan
kartu tanda "Telah dipesan". Sepertinya ada maksud untuk menunggu orang yang akan
tiba setelah seluruh tamu telah pergi meninggalkan toko, setelah lewat jam 22.00, ibu dengan
dua orang anak ini akhirnya muncul kembali.
Sang kakak memakai seragam SMP, sang adik mengenakan jaket --- yang kelihatan agak
kebesaran --- yang dipakai kakaknya tahun lalu, kedua anak ini telah tumbuh dewasa, sang ibu masih tetap memakai baju luar
bercorak kotak usang yang telah luntur warnanya. "Silakan masuk ! Silakan masuk !" Istri majikan
toko menyambut dengan hangat. Melihat istri majikan toko yang menyambut dengan senyum hangat, ibunda dua anak itu dengan takut-takut
berkata : "Tolong ...... tolong buatkan 2 mangkuk mie, bolehkah ?" "Baik, silakan duduk !" Sang istri mengajak
mereka ke meja nomor 2, dengan cepat menyembunyikan tanda "Telah Dipesan" seakan-akan tak pernah diletakkan di sana, lalu
berteriak ke arah dalam "2 mangkuk mie". Sang suami sambil menyahuti, sambil melempar
3 ikat mie ke dalam kuah yang mendidih. Ibu dan anak sambil makan, sambil berbicara, kelihatannya sangat bergembira, sepasang
suami istri yang berdiri di balik pintu dapur juga turut merasakan kegembiraan mereka.
"Siao Chun dan kakak, mama hari ini ingin berterima kasih kepada kalian berdua !" "Terima kasih !"
"Mengapa ?" "Begini, kecelakaan lalu lintas yang mengakibatkan 8 orang terluka yang disebabkan
oleh ayah kalian, pada setiap bulan dalam beberapa tahun ini haruslah menyerahkan uang sebesar 50,000 yen untuk menutupi bagian
yang tak dapat dibayar oleh pihak asuransi."
"Ya, hal ini kami tahu !" Sang kakak menjawab. Istri pemilik toko dengan tak bergerak mendengarkan. "Yang
pada mulanya harus membayar hingga bulan Maret tahun depan, telah terlunasi pada hari
ini !" "Oh, mama, benarkah ?" "Ya, benar, karena kakak mengantar koran
dengan rajin, Siao Chun membantu untuk beli sayur dan masak nasi, sehingga mama bisa bekerja dengan hati yang tenang. Perusahaan
memberikan bonus spesial kepada saya karena tidak pernah absen kerja, sehingga hari ini dapat melunasi seluruh bagian yang
tersisa."
"Ma ! Kakak ! Alangkah baiknya, tapi kelak tetap biarkan Siao Chun yang menyiapkan makan malam." "Saya juga
ingin terus mengantar koran." "Terima kasih kepada kalian kakak beradik, benar-benar
terima kasih !" "Siao Chun dan saya ada sebuah rahasia, dan terus tidak
memberitahu mama, itu adalah ...... pada sebuah hari Minggu di bulan November, sekolah
Siao Chun menghubungi wali murid untuk hadir melihat program bimbingan belajar dari sekolah,
guru dari Siao Chun secara khusus menambahkan sepucuk surat, yang mengatakan sebuah karangan Siao Chun telah dipilih sebagai wakil
seluruh "Pei Hai Tao (Hokkaido)", untuk mengikuti lomba mengarang seluruh negeri.
Hari itu saya mewakili mama untuk menghadirinya."
"Benar ada hal ini ? Lalu ?" "Tema yang diberikan guru adalah "Cita-Citaku (Wo Te Ce Yuen)", Siao Chun dengan karangan bertema semangkuk mie kuah, dipersilakan untuk membacanya di hadapan para hadirin."
"Isi dari karangan itu menuliskan, ayah mengalami kecelakaan lalu lintas, dan meninggalkan
hutang yang banyak; demi untuk membayar hutang, mama bekerja keras dari pagi hingga malam,
sampai hal saya mengantar koran juga ditulis oleh Siao Chun." "Masih ada, pada
malam tanggal 31 Desember, kami bertiga ibu dan anak bersama-sama memakan semangkuk mie
kuah, sangatlah lezat ...... 3 orang hanya memesan semangkuk mie kuah, sang pemilik toko, yaitu paman dan istrinya malah
masih mengucapkan terima kasih kepada kami, serta mengucapkan selamat bertahun baru kepada
kami ! Suara itu sepertinya sedang memberikan dorongan semangat untuk kami untuk tegar
menjalani hidup, secepatnya melunasi hutang dari ayah."
"Oleh karena itu, Siao Chun memutuskan untuk membuka toko mie setelah dewasa nanti, untuk menjadi pemilik toko mie nomor
1 di Jepang, juga ingin memberikan dorongan semangat kepada setiap pengunjung ! Semoga kalian
berbahagia ! Terima kasih !" Sepasang pemilik toko yang terus berdiri di balik pintu dapur mendengarkan pembicaraan mereka mendadak tak terlihat lagi,
ternyata mereka sedang berjongkok, selembar handuk masing-masing memegang ujungnya, berusaha keras untuk
menghapus air mata yang tak hentinya mengalir keluar.
"Selesai membaca karangan, guru berkata: Kakak Siao Chun telah mewakili ibunya datang
ke sini, silakan naik ke atas menyampaikan beberapa patah kata." "Sungguhkah ? Lalu kamu bagaimana ?" "Karena
terlalu mendadak, saat mulai tidak tahu harus mengucapkan apa baiknya, saya lantas
mengucapkan terima kasih kepada semua orang atas perhatian dan kasih sayang terhadap Siao Chun,
adik saya setiap hari harus membeli sayur menyiapkan makan malam, sering kali harus terburu-buru
pulang dari kegiatan berkelompok, tentu mendatangkan banyak kesulitan bagi semua orang, tadi pada
saat adik saya membacakan "Semangkuk mie kuah", saya sempat merasa malu, tetapi sewaktu melihat adik saya dengan
dada tegap dan suara yang lantang menyelesaikan membaca krangan, merasa perasaan malu itulah
yang benar-benar memalukan."
"Beberapa tahun ini, keberanian mama yang hanya memesan semangkuk mie kuah, kami kakak beradik tidak akan pernah melupakannya
...... kami berdua pasti akan giat dan rajin, merawat ibu dengan baik, hari ini dan seterusnya masih meminta tolong kepada para hadirin
untuk memperhatikan adik saya." Ibu dan anak bertiga secara diam-diam saling memegang tangan dengan erat, saling menepuk
bahu, menikmati mie tahun baru dengan perasaan yang lebih berbahagia dibanding tahun sebelumnya,
membayar 300 yen dan mengucapkan terima kasih, lalu memberikan hormat dan meninggalkan toko
mie.
Majikan toko seperti sedang menutup tahun yang lama, dengan suara yang keras mengucapkan
"Terima kasih ! Selamat Tahun Baru !" Setahun pun berlalu lagi, toko mie
Pei Hai Thing juga meletakkan tanda "Telah Dipesan"
sambil menunggu, tetapi ibu dan anak bertiga tidak muncul. Tahun kedua, tahun ketiga,
meja nomor 2 tetap kosong, ibu dan kedua anaknya tetap tidak muncul. Usaha dari
Pei Hai Thing semakin bagus, dalam tokonya pun
telah direnovasi, meja dan kursinya telah diganti dengan yang baru, hanya meja
nomor 2 itulah masih tetap pada aslinya. Banyak
tamu pengunjung merasa heran, istri majikan lantas menceritakan kisah semangkuk mie kuah kepada para pengunjung. Meja nomor
2 itu lantas menjadi "Meja Keberuntungan", setiap pengunjung menyampaikan kisah ini
kepada yang lainnya, ada banyak pelajar yang merasa ingin tahu, datang dari kejauhan demi
untuk melihat meja tersebut dan menikmati mie kuah, semua orang umumnya ingin duduk di meja tersebut.
Lalu setelah melewati malam Chu Si beberapa tahun ini, para pemilik toko di sekitar Pei
Hai Thing, setelah menutup toko pada malam Chu Si, umumnya akan mengajak keluarganya menikmati mie di Pei Hai Thing. Sering
berkumpul sebanyak 30 hingga 40 orang, sangatlah ramai. Ini telah merupakan hal yang biasa
dalam 5~6 tahun terakhir ini. Semua orang telah mengetahui asal dari meja nomor 2, meski
mulut tidak berbicara, tapi dalam hati berpikir "Meja yang telah dipesan pada malam Chu Si" di tahun ini kemungkinan
akan sekali lagi dengan meja dan kursi yang kosong menyambut datangnya tahun baru.
Hari ini, semua orang sekali lagi berkumpul pada malam Chu Si, ada orang yang memakan mie, ada yang minum arak, semuanya berkumpul
seperti sebuah keluarga. Setelah lewat pukul 22.00, pintu dengan tiba-tiba ........ terbuka
kembali, semua orang yang berada di dalam langsung menghentikan pembicaraan, seluruh
pandangan mata tertuju ke arah pintu yang terbuka itu. Dua orang remaja yang berpakaian
stelan jas yang rapi dengan baju luar di tangan, berjalan melangkah masuk. Semua orang menghembuskan napas lega. Saat istri
majikan ingin mengatakan meja makan telah penuh dan memberitahu tamu tersebut, ada seorang
wanita berpakaian kimono berjalan masuk, berdiri di tengah kedua remaja tersebut.
Seluruh orang yang berada dalam toko menahan napas mendengar wanita berpakaian kimono tersebut dengan perlahan mengatakan
: "Tolong ... tolong ... mie kuah ... untuk jatah 3 orang, bolehkah ?" Belasan tahun
telah berlalu, sang istri majikan toko seketika berusaha keras untuk mengingat kembali gambaran
ibu muda dengan dua orang anaknya pada 10 tahun yang lalu. Sang suami di balik dapur
juga termenung. Seorang di antara ibu dan anak tersebut menatap sang istri yang tengah
salah tingkah tersebut dan mengatakan : "Kami bertiga ibu dan anak, pada 14 tahun yang
lalu pernah memesan semangkuk mie kuah di malam Chu Si, mendapatkan dorongan semangat
dari semangkuk mie tersebut, kami ibu dan anak bertiga baru dapat menjalani hidup dengan
tegar."
"Lalu kami pindah ke kabupaten (Ce He) tinggal di rumah nenek, saya telah melewati
ujian jurusan kedokteran dan praktek di rumah sakit Universitas Kyoto bagian penyakit anak-anak,
bulan April tahun depan akan praktek di rumah sakit kota Sapporo." "Sesuai dengan
tatakrama, kami datang mengunjungi rumah sakit ini terlebih dahulu, sekalian sembahyang
di makam ayah, setelah berdiskusi dengan adik saya yang --- pernah berpikir untuk menjadi majikan toko mie nomor 1 tapi
belum tercapai --- sekarang bekerja di Bank Kyoto, kami mempunyai sebuah rencana yang
istimewa ...... yaitu pada malam Chu Si tahun ini, kami bertiga ibu dan anak akan mengunjung
Pei Hai Thing di Sapporo, memesan 3 mangkuk mie kuah Pei Hai Thing."
Sang istri majikan akhirnya pulih ingatannya, menepuk bahu sang suami sambil berkata : "Selamat datang ! Silakan......
Ei ! Meja nomor 2, tiga mangkuk mie kuah.
BILLY GRAHAM'S SERMON
Billy Graham's Message
National Day of Prayer and Remembrance
National Cathedral
Washington, D. C.
Friday, September 14, 2001
President and Mrs. Bush, I want to say a personal word on behalf of many people. Thank you, Mr. President, for calling this Day
of Prayer and Remembrance. We needed it at this time. We come together today to affirm our conviction that God cares
for us, whatever our ethnic, religious or political background may be.
The Bible says that He is "the God of all comfort, who comforts us in all our troubles." No matter how hard we try words simply cannot
express the horror, the shock, and the revulsion we all feel over what took place in this nation on Tuesday morning. September 11 will
go down in our history as a day to remember. Today we say to those who masterminded this cruel plot, and to those who carried it out,
that the spirit of this nation will not be defeated by their twisted and diabolical schemes. Some day those responsible will
be brought to justice, as President Bush and our Congress have so forcefully stated.
But today we especially come together in this service to confess our need of God. We've always needed God from the very beginning
of this nation but today we need Him especially. We're facing a new kind of enemy. We're involved in a new kind of warfare and we need the
help of the Spirit of God
The Bible's words are our hope: "God is our refuge and strength, an ever present help in trouble. Therefore we will not fear, though the earth give way and the mountains
fall into the heart of the sea" (Psalm 46:1,2, NIV).
But how do we understand something like this? Why does God allow evil like this to take place? Perhaps that is what you are asking
now. You may even be angry at God. I want to assure you that God understands those feelings that you may have. We've seen so
much on our television, and hear on our radio, stories that bring tears to our eyes and make us all feel a sense
of anger. But God can be trusted, even when life seems at its darkest.
But what are some of the lessons we can learn? First, we are reminded of the mystery and reality of evil. I have been asked on hundreds
of times in my life why God allows tragedy and suffering. I have to confess that I really do not know the answer totally, even to my
own satisfaction. I have to accept, by faith,that God is sovereign, and He is a God of love and mercy and compassion in the midst of
suffering. The Bible says God is not the author of evil. It speaks of evil as a "mystery." In 2 Thessalonians 2:7 it talks about the
mystery of iniquity. The Old Testament prophet Jeremiah said, "The heart is deceitful above all things and beyond cure. Who can
understand it?" He asked that question, "Who can understand it?" And that is one reason we each need
God in our lives.
The lesson of this event is not only about the mystery of iniquity and evil, but secondly, it is a lesson about our
need for each other. What an example New York and Washington have been to the world these past few days! None of us will ever forget the
pictures of our courageous firefighters and police, many of whom have lost friends and colleagues, or the hundreds of people attending or standing
patiently in line to donate blood. A tragedy like this could have torn this country apart, but instead it has united us and we have
become a family. So those perpetrators who took this on to tear us apart, it has worked the other way. It has backlashed, it has
backfired. We are more united than ever before. I think this was exemplified in a very moving way when the members of our Congress stood
shoulder to shoulder the other day and sang, "God Bless America."
Finally, difficult as it may be for us to see right now -- this event can give a message of hope -- hope for the present, and hope
for the future. Yes, there is hope. There is hope for the present because I believe the stage has already been set for a new
spirit in our nation. One of the things we desperately need is a spiritual renewal in this country. We need a spiritual revival
in America. And God has told us in His Word, time after time, that we are to repent of our sins and we're to turn to Him and He
will bless us in a new way.
There is also hope for the future because of God's promises. As a Christian, I have hope not just for this life, but for heaven and the life to come. And many of those
people who died this past week are in heaven right now and they wouldn't want to come back. It's so glorious and so wonderful.
And that's the hope for all of us who put our faith in God. Pray that you will have this hope in your heart. This event reminds us
of the brevity and the uncertainty of life. We never know when we too will be called into eternity. I doubt if even one of those people
who got on those planes, or walked into the World Trade Center or the Pentagon last Tuesday morning thought it would be the last
day of their lives. It didn't occur to them. And that's why each of us needs to face our own spiritual need and commit ourselves
to God and His will now.
Here in this majestic National Cathedral we see all around us the symbols of the Cross. For the Christian, I'm speaking for
the Christian now, the Cross tells us that God understands our sin and our suffering, for He took them
upon Himself in the person of Jesus Christ our sins and our suffering. And from the
Cross, God declares, "I love you. I know the heartaches and the sorrows and the pains that you feel. But I love you."
the story does not end with the Cross, for Easter points us beyond the tragedy of the Cross to the empty tomb that tells
us that there is hope for eternal life, for Christ has conquered evil and death, and hell.
Yes, there is hope. I've become an old man now and I've preached all over the world and the older I get the more I cling
to that hope that I started with many years ago and proclaimed it in many languages in
many parts of the world. Several years ago at the National Prayer Breakfast in Washington, Ambassador Andrew Young (who had just gone through
the tragic death of his wife), closed his talk with a quote from the old hymn "How Firm a Foundation... ."
We all watched in horror as planes crashed into the steel and glass of the World Trade Center. Those majestic towers, built
on solid foundations, were examples of the prosperity and creativity of America. When damaged, those building eventually plummeted
to the ground, imploding in upon themselves. Yet, underneath the debris, is a foundation
that was not destroyed. Therein lies the truth of that old hymn, "How Firm a
Foundation ... ." Yes, our nation has been attacked, buildings destroyed, and lives lost.
But now we have a choice: whether to implode and disintegrate emotionally and spiritually as a people and a nation -- or, whether we
choose to become stronger through all of this struggle -- to rebuild on a solid foundation.
And I believe we are in the process of starting to rebuild on that foundation. That foundation is our trust in God. That's what this
service is all about and in that faith we have the strength to endure something as difficult and horrendous as what we have experienced
this week.
This has been a terrible week with many tears but it has also been a week of great faith. Churches all across the country have
called prayer meetings and today is a day that they are celebrating not only in this country but in many parts of the world. And
in the words of that familiar hymn, "Fear not, I am with thee; O be not dismayed, For I
am thy God, and will give thee aid; I'll strengthen thee, help thee, and cause thee to stand, Upheld by my righteous, omnipotent
hand."
My prayer today is that we will feel the loving arms of God wrapped around us, and will know in our hearts that He will
never forsake us as we trust in Him.
We also know that God is going to give wisdom and courage and strength to the President and those around him. And this is going
to be a day that we will remember as a day of victory.
May God bless you all.
kembali ke awal
BILA MENGAKU PENGIKUT KRISTUS
Bila mengaku "Pengikut Kristus"
Aku tidak berteriak, "Aku sudah diselamatkan
Hanya akan berbisik, "Aku pernah tersesat "
Itulah mengapa aku memilih jalan ini
Bila mengaku "Pengikut Kristus"
Aku tidak akan mengatakan ini dengan kesombongan
Kuakui bahwa aku masih bisa tersandung
Dan membutuhkan seseorang untuk menjadi pembimbingku
Bila mengaku "Pengikut Kristus"
Aku takkan berpura-pura merasa sudah kuat
Kuakui bahwa aku masih lemah Dan memohon kekuatan untuk tetap terus maju
Bila mengaku "Pengikut Kristus"
Aku tidak bersombong diri karena sukses
Aku mengaku bahwa aku pun pernah gagal
Dan takkan pernah mampu menebus kerugiannya
Bila mengaku "Pengikut Kristus"
Aku tidak menganggap diri telah sempurna
Cacat-celaku terlalu kentara
Tetapi Tuhan percaya saya bisa mengupayakannya
Bila mengaku "Pengikut Kristus"
Aku masih bisa merasakan sakit
Aku pun mengalami rasanya hati yang hancur
Itulah mengapa aku masih mencari Tuhan
Bila mengaku "Pengikut Kristus"
Aku tidak akan pernah ingin mengadili
Aku tidak punya kuasa
Yang kutahu hanyalah bahwa aku dicintai. (Anonim)
kembali ke awal
DUA BUAH BALLPOINT BEKAS
Kami duduk berhadap-hadapan. Sudah beberapa waktu kami hanya diam membisu menikmati khayalan
kami masing-masing. Aku bukan seorang yang bisa menduga isi hati seseorang dari ekspresi wajah. Maka saat ini aku juga tidak
bisa menangkap gejolak apa yang ada dalam hati bapak yang duduk di depanku.
Bapak ini baru saja menceritakan padaku pengalaman hidupnya yang menurut dia sangat menyebalkan. Dia baru saja diberhentikan dengan hormat
dari jabatannya sebagai pemimpin sebuah yayasan. Enam tahun yang lalu bapak ini dipercaya oleh pengurus yayasan untuk mengelola
yayasan yang sudah sekarat. Pada awalnya bapak ini sudah ingin mundur, sebab melihat situasi
yayasan yang sudah parah. Ketika dia melaporkan hal itu pada pengurus yayasan, pemimpin yayasan
mengatakan bahwa jika bapak tidak sanggup, maka bubarkan saja yayasan itu. Bapak ini tidak setuju dengan cara yang mau melepas
tanggung jawab itu, sebab karyawan yayasan cukup banyak. Lalu mereka harus bekerja apa?
Sudah bertahun-tahun mereka menggantungkan hidupnya di yayasan ini. Tapi pemimpin yayasan tidak memberikan jalan keluar. Dia
sudah memasrahkan pada bapak ini. Mau dilanjutkan atau dibubarkan, terserah kebijaksanaannya.
Mulailah suatu perjuangan panjang dan berat. Yayasan yang sudah sekarat itu dibenahi sedikit demi sedikit. Semua karyawan diajak
bicara untuk bersama-sama memikirkan tempat hidup mereka. Persaudaraan antar karyawan ditumbuhkan,
semula banyak karyawan saling mencurigai satu dengan yang lain. Rasa pemilikan yayasan ditumbuhkan. Mereka bukan karyawan
tapi pemilik yayasan ini. Kesejahteraan karyawan ditingkatkan, meski hal ini ditentang oleh pengurus
yayasan, sebab yayasan bisa bangkrut. Tapi bapak ini berpikir yayasan itu toh sudah sekarat,
maka sebelum mati harus memberikan yang terbaik untuk semua karyawan yang selama ini
telah mengabdikan dirinya pada yayasan ini.
Langkah-langkah bapak ini ternyata membuat yayasan ini tidak mati sebaliknya mulai berkembang dalam soal dana dan karya. Yayasan
mulai bergerak kembali. Tapi tiba-tiba suatu hari bapak ini diberhentikan begitu saja. Dia
sebetulnya tidak marah akan hal itu, sebab memang dia hanya seorang pekerja. Dalam acara serah terima dia mendapatkan hadiah
dari pemimpin yayasan. Ketika dibuka ternyata hadiahnya dua buah ballpoint bekas.
Semula aku tidak percaya dengan cerita bapak itu. Tapi ketika kulihat kedua ballpoint dan tempatnya, aku baru percaya bahwa ini
barang bekas. Perjuangan berat selama enam tahun ternyata hanya mendapatkan kenang-kenangan ballpoint bekas. Inilah yang membuat
bapak itu sedih. Apakah orang tidak bisa menghargai pekerjaan orang lain? Mengapa dulu
pemimpin yayasan tidak peduli pada yayasannya yang sudah hampir mati, namun sekarang karena ada uang yang cukup banyak menjadi
peduli? Mengapa dulu banyak orang menghindari jika ditawari menjadi pemimpin yayasan, tapi sekarang
mulai berebut?
Kotak ballpoint itu masih tergeletak di meja depan kami. Aku berusaha memahami perasaan bapak itu. Seandainya aku jadi dia apakah
aku tidak akan kecewa? Aku bayangkan pasti aku juga kecewa. Perjuangan berat hanya dihargai dua buah ballpoint bekas. Memang kadang
ada juga orang idealis yang mengatakan bahwa pekerjaan adalah suatu pelayanan, apalagi di sebuah yayasan sosial. Ini adalah
pelayanan murni. Maka jangan terlalu berharap akan keuntungan materi. Namun apakah orang itu
jika mendapat perlakuan seperti bapak ini masih berani mengajukan teorinya?
Kami masih duduk berhadapan. Tiba-tiba bapak itu tersenyum yang tidak bisa aku duga apa
maksudnya. Kenapa saya harus kecewa? Tanya bapak itu seolah pada diri sendiri. Masih
lumayan dia mendapatkan ballpoint bekas sedangkan Yesus mendapatkan salib, lanjutnya. Padahal
perjuangannya masih jauh dibandingkan perjuangan Yesus. Dia sudah banyak berkurban, meninggalkan
tanah kelahiranNya, keluargaNya dan memilih hidup miskin daripada menjadi raja. Dia sudah
banyak menyembuhkan orang, membebaskan orang dari pengaruh jahat, memberi makan orang
dan aneka mujijat lain, tapi Dia dicaci maki dan puncak balasan manusia adalah salib. Jika Yesus saja mengajarkan agar tidak
kecewa mengapa aku harus kecewa? Kata bapak itu mengakhiri perkataannya. Aku hanya
membisu mendengar semua itu. Aku berusaha menangkap apakah itu suatu ketulusan atau suatu ungkapan
kefrustasian. Aku tidak tahu.
Bapak itu berdiri dan pamit pulang. Aku hanya termangu di depan pintu. Kejadian yang dialami
bapak itu bukanlah satu-satunya yang terjadi di dunia. Masih banyak orang yang mengalami pengalaman tragis macam itu. Orang
yang dicampakan begitu saja oleh orang-orang yang lebih berkuasa. Orang-orang yang tidak dihargai atas
apa yang telah dikerjakannya. Orang-orang yang menyerahkan hidupnya untuk suatu karya
dan pada akhirnya dibuang begitu saja seolah-olah dia tidak pernah berjasa sama sekali. Orang-orang
yang dikecilkan prestasinya, meski dia sudah mencurahkan segenap kemampuannya demi keberhasilan
pekerjaan
Apakah aku lebih baik daripada pemimpin yayasan? Aku memang belum pernah memimpin suatu yayasan
besar. Belum pernah menjadi pejabat. Aku hanya orang biasa saja dan pekerja. Tapi
apakah aku tidak pernah melakukan seperti yang dilakukan pemimpin yayasan itu? Apakah aku senantiasa bisa menghargai jasa
orang lain? Aku tersenyum kecut. Aku tidak lebih baik dari dia. Sering kali aku melihat
orang melakukan pekerjaan untukku dan kuanggap bahwa itu memang harus dia lakukan. Itu adalah
kewajibannya. Itu adalah tugasnya, maka tidak ada yang istimewa. Kalau pegawai rumah ini mencuci mobilku dengan bersih aku
anggap itu adalah tugasnya, kewajibannya sebagai pegawai rumah sini dan dia dibayar memang untuk itu. Padahal dia bekerja
keras untuk membersihkan mobil yang sangat kotor.
Di masyarakat masih banyak lagi orang yang bersikap seperti pemimpin yayasan. Orang
yang mudah sekali melupakan jasa orang lain. Orang yang menganggap remeh pengurbanan orang
lain. Orang yang hanya memberikan barang bekas pada orang yang sudah sangat berjasa. Dalam hidupku tidak sedikit orang yang
rela mengurbankan dirinya untukku. Aku ingat para guruku sejak TK sampai pendidikan terakhir. Tapi begitu aku keluar dari tempat
pendidikan aku hanya sedikit ingat akan mereka. Pemimpin yayasan masih memberikan ballpoint
bekas sedang aku tidak pernah memberikan sesuatu untuk guru-guruku. Belum lagi pada
orang-orang lain. Memang banyak orang dengan mudah melupakan arti sebuah pengurbanan dari sesama.
Bapak itu bukanlah satu-satunya orang yang tidak dihargai jasanya. Masih banyak orang
yang dilupakan begitu saja setelah dia mengurbankan dirinya pada suatu tugas. Ketua lingkungan, ketua stasi dan aneka jabatan dalam
Gereja sering menyita banyak waktu bagi orang yang menjabatnya, namun sering kali mereka juga
menjadi pribadi-pribadi yang terlupakan. Padahal mereka sudah banyak memberikan tenaga, pikiran, perasaan dan materinya untuk
Gereja. Pengurbanan itu akan mudah sekali ditutup dengan kata pelayanan. Bahwa apa yang dilakukannya
adalah sebuah pelayanan, artinya jangan mengharapkan apa-apa dari yang sudah dilakukan. Apakah
pelayanan tidak perlu dihargai? Mengapa orang bersembunyi dibalik kata-kata itu?
Aku berjalan masuk ke kamarku. Kulihat seorang pegawai sedang membersihkan sepeda motor.
Kugoda sejenak dan dalam hatiku berjanji untuk memberi sesuatu padanya sebelum dia keluar dari sini. Kapan janji itu akan
kupenuhi? Hanya kepekaan hati saja yang bisa menjawab.
salam
gani
yang sedang kepanasan
kembali ke awal
PENYELAMATAN DI LAUT
Beberapa tahun lalu, di sebuah desa nelayan kecil di Belanda, seorang pemuda mengajarkan kepada dunia, tentang hadiah yang diperoleh
dari sikap tidak mementingkan diri sendiri.
Karena seluruh desa bergerak dalam industri perikanan, sukarelawan untuk regu penyelamat dibutuhkan dalam keadaan darurat. Suatu
malam angin mengamuk, awan-awan bergerak cepat dan badai besar mengancam sebuah perahu
penangkap ikan tenggelam di laut. Dalam kepanikan dan ketakutan, awak kapal mengirimkan sinyal
bahaya, S.O.S.
Kapten kapal regu penyelamat membunyikan alarm dan penduduk desa berkumpul memandang ke pelabuhan. Ketika regu penyelamat meluncurkan
perahu mereka dan berjuang menembus gelombang liar, penduduk desa menanti dengan gelisah ditepi pantai, dengan lentera di tangan
untuk menerangi jalan kembali. Satu jam berikut, kapal penyelamat muncul kembali dan
penduduk desa bersorak menyambut mereka.
Jatuh kelelahan di atas pasir, para sukarelawan itu melaporkan bahwa kapal penyelamat tidak
sanggup menampung penumpang tambahan dan mereka meninggalkan seseorang di belakang. Meskipun hanya satu orang penumpang
tapi jika dipaksakan pasti akan akan menenggelamkan kapal penyelamat dan semuanya akan meninggal.
Sang kapten meminta satu regu sukarelawan lagi untuk pergi menyelamatkan orang yang tertinggal itu.
Hans, pemuda berumur 16 tahun maju kedepan. Ibunya memegang lengannya, memohon, "Jangan
pergi. Ayahmu meninggal dalam kecelakaan kapal 10 tahun lalu dan kakakmu, Paul, telah
hilang di lautan selama 3 minggu. Hans, kamu satu-satunya yang masih saya miliki." Hans menjawab, "Ibu, saya harus
pergi. Apa yang terjadi kalau semua orang berkata, 'Saya tidak dapat pergi, biarkan orang
lain yang melakukannya?' Ibu, kali ini, saya harus melakukan tugas saya. Ketika ada panggilan
untuk melayani, kita semua perlu mengambil giliran dan melakukan bagian kita."
Hans mencium ibunya, bergabung dengan regu penyelamat dan menghilang dalam kegelapan malam. Beberapa jam berlalu, bagi ibu Hans
itu terasa selamanya. Akhirnya, kapal penyelamat kembali dengan Hans berdiri di ujung kapal. Dengan mengatupkan kedua belah telapak tangan,
kapten berteriak, "Apakah kamu menemukan orang yang tertinggal itu?" Hampir-hampir
tidak dapat menguasai diri, Hans berteriak balik dengan kegirangan, "Ya, kami menemukannya.
Beritahu ibu saya itu adalah kakak saya, Paul !"
'Lalu aku mendengar suara Tuhan berkata: "Siapakah yang akan Kuutus, dan
siapakah yang mau pergi untuk Aku?" Maka sahutku: "Ini aku, utuslah aku!"'
(Yesaya 6:8)
'Karena siapa yang mau menyelamatkan nyawanya, ia akan kehilangan nyawanya; tetapi barangsiapa
kehilangan nyawanya karena Aku dan karena Injil, ia akan menyelamatkannya.'
(Markus 8:35)
Diterjemahkan oleh: Ursula
kembali ke awal
TABAH
Tidak semua penderitaan membuat orang masuk dalam masa gelap. Penderitaan bisa pula membuat
orang melihat terang Tuhan dan aneka anugerah Tuhan dalam hidup. Demikian kata seorang bapak padaku. Aku setuju dengan pendapat
ini, namun pemahaman ini tidak bisa dirasakan oleh semua orang, sebab tidak jarang dalam
penderitaan orang mempertanyakan keberadaan Allah. Mereka mempertanyakan dimana Tuhan ketika semua ini terjadi.
Bapak ini tidak berteori sebab dia baru saja mengalami penderitaan yang cukup berat. Ayah
dari bapak ini baru saja sakit keras. Semula gejalanya hanya seperti flu biasa saja, setelah
diobati ternyata tidak sembuh-sembuh maka di bawa ke sebuah rumah sakit di Surabaya. Beberapa hari menjalani rawat inap,
ayahnya berangsur membaik dan dibawa kembali ke Lumajang, tempat tinggalnya.
Ternyata sampai di Lumajang, penyakitnya semakin parah dan sampai tidak sadarkan diri. Dalam kebingungan ini bapak ini melihat
tangan Tuhan mulai berkarya dalam hidup ayahnya. Tiba-tiba saudaranya bersedia meminjami mobil
dan mengantar dari Lumajang ke sebuah rumah sakit di Surabaya. Jarak Lumajang dari Surabaya
cukup jauh. Dan selama dalam perjalanan ayahnya dalam keadaan tidak sadar. Maka bapak ini
hanya bisa berpasrah pada Tuhan. Menurut dokter ayahnya kekurangan kalium dan natrium. Setelah rawat inap selama 2 minggu,
ternyata rumah sakit di Surabaya kurang memadai, maka dibawa ke Jakarta untuk mendapatkan
perawatan yang lebih baik.
Ketika akan berangkat ke Jakarta ternyata hujan deras, sehingga jalanan di Surabaya macet dimana-mana. Bapak ini dan seluruh keluarga cemas, sebab pasti akan tertinggal
oleh pesawat. Ternyata pesawat itu mau menunggu mereka bahkan memberikan pelayanan yang baik
bagi orang yang sedang sakit. 2 minggu dirawat di Jakarta ternyata diketahui bahwa bapak
ini pembuluh darah di otaknya tersumbat, sehingga menyerang saraf mulut.
Akibatnya ayahnya tidak mampu bicara dengan normal. Hal yang lebih berat ialah ayahnya tampak tidak siap menerima semua ini.
Dia tertekan dengan semua ini, maka membuat tubuhnya semakin lemah. Dia menjadi sulit berjalan. Sulit menulis, dan sebagainya. Dalam
waktu-waktu seperti ini yang dibutuhkan dorongan dan bantuan dari orang-orang yang sungguh harus
mempunyai kesabaran. Ternyata orang-orang itu seperti dikirim oleh Tuhan sendiri.
Peristiwa-peristiwa yang tampaknya tidak sengaja ternyata membawa bapak ini bertemu dengan orang-orang yang sungguh membantu
dalam proses penyembuhan ayahnya. Kutatap bapak ini sampai dia menyelesaikan ceritannya. Aku kagum padanya yang berusaha tetap
menyandarkan diri pada Tuhan dalam menghadapi masa-masa sulit. Dia memasrahkan semua peristiwa hidupnya pada Tuhan. Hal ini yang membuat dia
melihat bahwa apa saja yang terjadi sudah diatur oleh Tuhan.
Pertemuannya dengan dokter spesialis, dengan shinse, dengan perawat ahli dan banyak orang dianggapnya sebagai karya Tuhan. Tuhan
telah mengirim mereka semua demi kesembuhan ayahnya. Inilah mujijat dalam hidup. Setelah berbasa
basi sejenak, bapak ini mohon pamit dan meminta padaku untuk berusaha menuliskan semuanya. Dengan senang hati aku berusaha merenungkan semua ini.
Pengalaman bapak ini menunjukan bahwa iman membuat mujijat. Mujijat dalam hal ini bukan
kesembuhan ayahnya yang tiba-tiba seperti seorang pemain sulap yang tiba-tiba memunculkan kelinci dari topinya, tapi mujijat
dalam artian tampaknya peran tangan Tuhan dalam proses penyembuhan itu. Bantuan Tuhan
dengan mengirim orang-orang yang sangat dibutuhkan. Inilah mujijat itu. Mujijat diharapkan oleh
orang terutama ketika orang masuk dalam kesulitan atau kegelapan hidupnya.
Kadang orang terbalik dalam melihat mujijat itu. Aku sering mendengar orang memberi kesaksian
bahwa dia semula kurang bergantung pada Allah tapi setelah mendapatkan mujijat maka dia
berbalik pada Allah. Dia menjadi percaya. Bagiku ini sangat lemah. Mujijat dimulai dari iman.
Beberapa kali Yesus menyembuhkan orang dengan mengatakan bahwa imanmu telah menyelamatkan kamu. Imanlah yang membuat orang mampu
bertahan dalam masa gelap. Imanlah yang mampu membuat orang melihat kasih Allah dalam hidupnya.
Inilah mujijat yaitu keyakinan bahwa Allah tidak akan meninggalkan dirinya. Bahwa Allah
akan memberikan yang terbaik padanya. Bahwa Allah memberikan banyak anugerah yang tidak
pernah terbayangkan sebelumnya melalui orang-orang yang diutusnya. Hal ini kadang dilihat sebagai
suatu kebetulan saja. Bukan karya Allah dalam hidup manusia.
Imanlah yang membuat manusia masih berusaha melihat hal positif dalam penderitaannya. Meski dia sangat cemas dan takut, tapi
dia masih bisa melihat yang lebih baik. Bapak itu mengatakan padaku untung ayahnya
hanya terkena serangan saraf mulut. Dia masih mampu melihat untung (hal positif) dalam
penyakit ayahnya. Dalam penderitaan sering kali manusia menjadi gelisah. Para murid ketika
diterjang badai mereka sangat gelisah, sehingga ketika Yesus datang berjalan diatas air mereka
mengira itu hantu. Padahal sudah sekian lama mereka bersatu dengan Yesus, tapi mereka masih
bisa salah menebak. Ini disebabkan karena mereka kalut.
Ketika WTC diledakan oleh teroris juga ada orang yang bertanya dimanakah Tuhan ketika
semua itu terjadi? Bahkan ada seorang dari Amerika Selatan yang mengatakan bahwa ketika
aku lahir Tuhan sedang sakit, sehingga Dia tidak melihat semua penderitaan umatnya. Orang yang lebih keras lagi mengatakan
bahwa Tuhan sudah mati di salib, sehingga Dia tidak bisa menolong manusia keluar dari penderitaan
dan menyebabkan penderitaan ada di dunia.
Maka betapa hebatnya ketika sedang dalam penderitaan orang masih tetap menyandarkan diri pada Tuhan. Orang masih menengadahkan
tangannya pada Tuhan, agar Tuhan sendiri datang untuk menolongnya dan melihat semua kejadian dalam penderitaan dalam terang
imannya. Orang yang seperti digambarkan oleh pemazmur dalam mazmur 123, seperti mata para
hamba laki-laki, memandang kepada tangan tuannya.
Seperti mata hamba perempuan memandang kepada tangan nyonyanya, demikianlah mata kita memandang
kepada Tuhan, Allah kita sampai Dia mengasihani kita. Orang yang hanya berharap akan belas
kasihNya. Dia tidak meminta apa-apa. Dia tidak mengatakan apa-apa. Dia hanya menunggu
dan berharap akan belas kasih Allah. Ini gambaran kepasrahan. Dalam kesendirian aku
bertanya pada diri sendiri, mampukan aku bisa bertahan dalam penderitaan dan melihat
bahwa ada Tuhan dalam setiap peristiwa hidupku?
salam,
gani
untuk seseorang yang meminta ini ditulis
kembali ke awal
WHEN TO KEEP YOUR MOUTH SHUT
Don't open your mouth when:
-
In the heat of anger - Proverbs 14:17
- When you don't have all the facts - Proverbs 18:13
- When you haven't verified the story - Deuteronomy 17:6
- If your words will offend a weaker person
- 1 Corinthians 8:11
- When it is time to listen - Proverbs 13:1
- When you are tempted to make light of holy
things - Ecclesiastes 5:2
- When you are tempted to joke about sin -
Proverbs 14:9
- If you would be ashamed of your words later
- Proverbs 8:8
- If your words would convey the wrong impression
- Proverbs 17:27
- If the issue is none of your business - Proverbs 14:10
- When you are tempted to tell an outright
lie - Proverbs 4:24
- If your words will damage someone else's
reputation - Proverbs 16:27
- If your words will damage a friendship -
Proverbs 16:28
- When you are feeling critical - James 3:9
- If you can't say it without screaming it
- Proverbs 25:28
- If your words will be a poor reflection of
the Lord or your friends and family - Peter 2:21-23
- If you may have to eat your words later -
Proverbs 18:21
- If you have already said it more than one
time - Proverbs 19:13
- When you are tempted to flatter a wicked
person - Proverbs 24:24
- When you are suppose to be working instead
- Proverbs 14:23
" Whoever guards his mouth & tongue
keeps his soul from troubles" - Proverbs
21:23
kembali ke awal
BERSANDARLAH PADAKU
Oleh Vonette Bright
Mayo Mathers pulang ke rumah setelah berkunjung ke rumah orang tuanya dan saudara perempuannya. Kunjungan tersebut sangat memilukan hatinya.
Saudara perempuannya mengalami luka yang parah pada otaknya - dalam kecelakaan mobil yang tragis- tertabrak oleh pengemudi yang mabuk. Dalam beberapa bulan kemudian, jelas
bahwa saudara perempuan Mayo tidak akan pernah sembuh. Dalam sisa hidupnya, ia sangat memerlukan perhatian terus menerus.
Mayo sangat berduka dalam perjalanannya pulang ke rumah melewati gunung di kegelapan malam yang terhuyur hujan. Tiba-tiba, ia mendengar suara keras saat ia memindahkan gigi perseneling.
Mobil berjalan melambat dan berhenti di tepi jalan. Dengan berharap menemukan bantuan, Mayo memberanikan diri menuju sebuah cahaya
yang agak redup di hutan belakang. Ia mendatangi sebuah rumah kecil dan dengan hati-hati mengetuk pintunya.
Seorang pria baik hati membukakan pintu, dan Mayo segera menceritakan tentang keadaan mobilnya dan bermaksud untuk meminjam telepon. Mayo menunjukkan kartu kredit teleponnya,
tetapi orang itu menolak. "Saya yang bayar," katanya. "Saya banyak menemui orang yang sedang dalam kesulitan mengetuk
pintu rumah saya. Ini cara saya untuk membantu."
Ketika suaminya tidak menerima teleponnya, Mayo bertanya apakah ada sebuah motel di dekat sana. Orang baik itu tahu sebuah pondokan
di mana Mayo dapat tinggal. Ya ... di sana ada sebuah kamar kosong. Penjaganya juga menolak uang Mayo.
Kamar tersebut sebenarnya adalah sebuah pondok dengan pemandangan sungai yang indah. Tenang dan hangat berada di depan api, Mayo membuka
Alkitabnya di Mazmur 139. Pada ayat yang ke-3, ia menangis. Dalam duka citanya, keletihan jiwanya, dan bahkan keputus-asaannya, ia
mendapat pemulihan dari Tuhan.
Dalam Alkitab, ia membaca :
"Engkau, (Tuhan), memeriksa aku, kalau aku berjalan dan berbaring,segala jalanku Kaumaklumi."
Lewat kata-kata tersebut, sepertinya Tuhan sedang berkata kepada Mayo : Dari awal, Aku sudah tahu semua yang ada di jalan hidupmu.
Aku akan memberikan kepadamu kekuatan untuk sabar dan tabah dalam menghadapi tragedi saudara perempuanmu, dan Aku akan membimbingmu
dalam setiap masa susahmu -Tetapi malam ini - Aku ingin kamu untuk berhenti dan bersandarlah padaKu.
Teman, Tuhan menawarkan sandaran yang sama padamu -bagaimana pun situasi yang kau hadapi. Ia tahu persis apa yang sedang kamu alami
saat ini.
Ia akan memberikan kekuatan kepadamu agar sabar dan tabah dalam menghadapinya. Tetapi kamu HARUS memberikan padaNya semua kecemasanmu,
ketakutanmu, kegelisahanmu. Ceritakan padaNya semua yang kamu pikir dan rasakan. Dengarkan Dia dan bersandarlah padaNya.
Terkadang dalam keduka citaan dan kebingungan, mudah untuk mencari kelegaan pada teman dan keluarga. Tapi seorang pun tidak dapat membantumu
seperti Tuhan. Ia satu-satunya yang dapat memenuhi kebutuhan jiwamu yang terdalam sekalipun.
Jangan abaikan dalam meluangkan waktu denganNya. Mulailah dengan membaca perkataanNya. Kitab Mazmur khusus menghibur masa-masa yang suram.
Ingat Mazmur 23 ? "Tuhan adalah gembalaku, takkan kekurangan aku. Ia membaringkan aku di padang yang berumput
hijau; Ia membimbing aku di air yang tenang. Ia menyegarkan jiwaku."
kembali ke awal
|